BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Beberapa
ahli mengatakan bahwa “dalam telaah bahasa, seperti juga halnya dalam setiap
telaah bersistem lainnya, tidak ada istilah atau terminologi yang netral;
setiap istilah teknik merupakan pengekspresian asumsi-asumsi dan
perkiraan-perkiraan teoritis dari para pemakainya.
Menyadari
kebenaran ucapan tersebut maka dalam bab ini kita akan berusaha menjelaskan
beberapa istilah yang dipergunakan, khususnya yang ada kaitannya dengan
semantik. Secara singkat semantik adalah telaah mengenai makna (George, 1964 :
1), tetapi batasan seperti itu belum memuaskan kita. Istilah semantik dapat
dipakai dalam pengertian luas dan pengertian sempit.
Makna
leksikal bisa pula dibagi menjadi dua jenis, yaitu makna denotasi dan konotasi.
Denotasi-denotasi sesuatu kata merupakan makna-makna yang bersifat umum,
tradisional, dan presedensial. Denotasi-denotasi tersebut biasanya merupakan
hasil penggunaan atau pemakaian kata-kata selama berabad-abad; semua itu
akhirnya termuat dalam kamus dan berubah dengan cara yang sangat lambat.
Sebaliknya konotasi-konotasi yang merupakan responsi emosional yang sering kali
bersifat perorangan timbul dalam kebanyakan kata-kata leksial pada kebanyakan
para pemakainya. justru konotasinyandan bukan denotasi yang memisahkan.
1.2
Rumusan Masalah
Dalam
penulisan masalah mengenai semantik bila kita tidak menetukan patokan-patokan
yang jelas mengenai hal-hal yang akan kita bahas tentunya kita akan memperoleh
kesulitan dalam mengembangkan makalah ini. Mengingat adanya keterbatasan dalam
kemampuan penyusun dan demi terarahnya penyusunan makalah maka penyusun
membatasi permasalahan pada hal-hal:
1.
Apa pengertian denotasi ?
2.
Apa pengertian konotasi ?
3.
Apa perbedaan denotasi dan
konotasi ?
4.
Sebutkan ragam-ragam
konotasi ?
5.
Apa yang dimaksud turun dan
naiknya konotasi ?
1.3
Tujuan
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu
tugas dalam mata kuliah Semanti. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan daerah.
2.
Untuk mengetahui dan
memahami denotasi dan konotasi.
3.
Untuk memahami
perbedaan denotasi dan konotasi.
4.
Untuk mengetahui
ragam-ragam konotasi.
5.
Untuk referensi bagi rekan
mahasiswa.
1.4 Manfaat
Manfaat dari penulisan
makalah ini adalah :
1.
Menambah ilmu pengetahuan
2.
Meningkatkan intelektualitas serta memperdalam
penghayatan keilmuan;
3.
Dari isi makalah ini kita bisa mengetahui lebih jauh
tentang
denotasi dan konotasi.
4.
Mengetahui dan memahami perbedaan denotasi dan
konotasi
5. Mengetahui dengan lebih jelas mengenai ragam-ragam konotasi.
5. Mengetahui dengan lebih jelas mengenai ragam-ragam konotasi.
BAB II
DENOTASI DAN KONOTASI
2.1 Pengantar
Semantik
adalah studi tentang makna (Lyons I. 1977:1 dalam Pateda).
Pada
pembicaraan terdahulu, khususnya pada 1.4.2 telah kita utarakan bahwa “makna
leksikal biasa pula dibagi menjadi dua jenis, yaitu makna denotatif dan makna
konotatif”. Denotasi-denotasi sesuatu kata merupakan makna-makna yang bersifat
“umum, tradisional dan presedensial”.
Denotasi-denotasi
tersebut biasanya merupakan hasil penggunaan atau pemakaian kata-kata selama
berabad-abad; semua itu akhirnya termuat dalam kamus dan berubah dengan cara
yang sangat lambat.
Sebaliknya,
konotasi-konotasi yang merupakan responsi-responsi emosional yang seringkali
bersifat perorangan timbul dalam kebanyakan kata-kata leksikal pada kebanyakan
para pemakainya. Justru konotasinyalah, dan bukan denotasinya, yang memisahkan
:
Langsing dan
kurus
Gagah dan
gemuk
Kasar dan
agresif, dan
Agresif dan
tegas.
Setiap
kata pada pasangan di atas pada prinsipnya mengandung denotasi atau makna pusat
yang sama, tetapi jelas kata-kata tersebut menimbulkan responsi-responsi yang
berbeda karena konotasi-konotasi yang terkandung di dalamnya. Namum demikian
konotasi-konotasi tersebut masih dapat dikatakan bersifat kolektif. Kebanyakan
orang akan menyetujui bahwa “langsing”
misalnya, merupakan hal yang disenangi, sedangkan “kurus” membayangkan kekrempengan akibat kurang urus.
(Heatherington, 1980 : 135-6).
Telaah
sinonim yang telah kita bicarakan pada Bab Dua pada prinsipnya memberi kesempatan
yang sangat baik kepada para guru untuk mengajarkan konsep-konsep yang
berkaitan dengan aspek-aspek denotatif dan konotatif perkembangan kosakata.
Pada umumnya kamus-kamus berisikan daftar denotasi (makna literal, makna pusat)
sesuatu kata. Definisi-definisi atau batasan-batasan serupa itu (yang pada
umumnya telah dibuat sebaik mungkin) masih dapat diperluas dan dikembangkan
dengan sarana-sarana ilustratif seperti gambar-gambar dan sinonim-sinonim.
(Dale, 1971 : 52-3).
Tetapi
haruslah pula kita sadari benar-benar bahwa sinonim yang mempergunakan
definisi, atau dengan perkataan lain “definisi dengan sinonim” itu hanya
berguna kalau sinonim tersebut ternyata kurang sukar daripada kata yang
dibatasi atau diberi definisi.
Contoh
:
Berilmu adalah
pintar
Ekonomis adalah hemat
Dalam
contoh di atas kata-kata pintar dan hemat lebih mudah dimengerti daripada
kata-kata berilmu dan ekonomis.
Sehubungan
dengan batasam denotatif ini, seorang ahli dengan tegas mengatakan bahwa
“apabila kata-kata itu sama asingnya, maka kita tidak memperoleh keuntungan
apa-apa dan kita mungkin saja tidak berfungsi sebagai pemaham atau penerima
dalam proses tersebut”. (Berlo, 1960 : 193-4).
2.2 Perbedaan Antara
Denotasi Dan Konotasi
Makna
denotatif suatu kata kerapkali diperluas atau direntangkan dengan makna
konotatifnya- suatu makna yang ditambahkan atau suatu makna tambahan yang
dinyatakan secara tidak langsung oleh kata tersebut.
Sebagai
lawan dari denotasi maka konotasi suatu kata merupakan lingkaran
gagasan-gagasan dan perasaan-perasaan yang mengelilingi kata tersebut, dan juga
emosi-emosi yang ditimbulkan oleh kata tersebut. Kita dapat melihat dengan
jelas perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam sinonim-sinonim suatu kata
tertentu. Setiap sinonim bagi kata penjara
berikut ini mengandung suatu konotasi tertentu.
Penjara : tutupan
tahanan
lembaga pemasyarakatan
bui
terungku
kurungan
begitu
pula dapat kita lihat bahwa makna-makna konotatif ini dapat juga mengandung
berbagai ragam pengalaman dalam kehidupan. Perhatikanlah baik-baik bahwa setiap
sinonim bagi kata laki-laki berikut
ini mengandung konotasi khusus sebagai tambahan terhadap denotasinya.
Laki-laki : pria, suami,
ayah, putra,
pakcik, paman,
saudara, jejaka,
kakek, duda,
cowok, jantan,
bujang, tuan.
Dari
pembicaraan di atas jelaskan bagi kita bahwa bila kita berbicara mengenai
penggunaan kata yang tepat maka konotasi dan denotasi itu tidak sama.
Perbedaannya adalah sebagai berikut : Denotasi adalah makna kata. Konotasi
adalah pancaran impresi-impresi yang tidak dapat dirasa dan tidak dapat
dinyatakan secara jelas yang mengelilinginya. Konotasi adalah segala sesuatu
yang kita pikirkan apabila kita melihat kata tersebut, yang mungkin dan juga
mungkin tidak sesuai dengan makna sebenarnya.” Mari kita ambil contoh kata langsing dan kurus itu kembali. Arti pusat kedua kata itu jelas sama, tetapi
dalam hubungannya dengan manusia, kedua kata itu mengacu atau menunjuk kepada
seseorang yang mempunyai berat yang kurang. Konotasi kedua kata tersebut jelas
berbeda. Menjadi orang yang langsing jelas
menjadi idaman, impian, keinginan orang dalam masyarakat, sedangkan menjadi
orang kurus jelas tidak diingini
orang, karena hal itu mengandung konotasi negatif, kurang gizi, kurang urus
badan. (Kelsch & Kelsch, 1981 : 79-80).
Selanjutnya
ada pula ahli yang membuat keterangan serta perbedaan antara denotasi dan
konotasi sebagai berikut ini :
“Denotasi
adalah batasan kamus atau definisi utama sesuatu kata, sebagai lawan daripada
konotasi-konotasinya atau makna-makna yang ada kaitannya dengan itu”.
“Konotasi
adalah kesan-kesan atau asosiasi-asosiasi biasanya yang bersifat emosional yang
ditimbulkan oleh sebuah kata di samping batasan kamus atau definisi utamanya”.
(Warriner [et al], 1977: 602).
Ditinjau
dari segi pemakaiannya dalam karya tulis pun ada perbedaan antara denotasi dan
konotasi ini, antara lain :
a) Karya
tulis yang bersifat ilmiah pada umumnya mempergunakan kata-kata yang bersifat
denotatif; sedangkan
b) Karya
tulis yang bernilai sastra pada umumnya mempergunakan kata-kata yang bersifat
konotatif.
2.3 Ragam Konotasi
Dalam
uraian di muka telah kita perbincangkan pengertian konotasi atau nilai rasa.
Sekarang kita akan memperbincangkan ragam konotasi yang terdapat dalam bahasa
indonesia yang kita pergunakan sehari-hari.
Kita
semua maklum bahwa seseorang itu di satu pihak berdiri sendiri dan di pihak
lain adalah sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu konotasi pun ada yang
bersifat individual dan ada pula yang bersifat kolektif.
Yang
disebut konotasi individual adalah nilai rasa yang hanya menonjolkan diri bagi
orang perseorangan. Kita maklum bahwa setiap individu dalam hidup ini
mempunyainya.
Yang
disebut konotasi kolektif adalah nilai rasa yang berlaku untuk para anggota
sesuatu golongan atau masyarakat.
Perlu
diketahui benar-benar bahwa penelitian terhadap nilai rasa individual jauh
lebih sulit daripada nilai rasa kolektif, sebab untuk mengetahui nilai rasa
individual kita harus meneliti setiap individu baik lahir maupun batin,
sejarah, perkembangannya aspek-aspek lainnya. Berdasarkan hal itu maka dalam
buku kecil ini kita lebih menitikberatkan pembicaraan pada nilai rasa kolektif
saja.
Selanjutnya
konotasi kolektif atau nilai rasa kelompok ini secara garis besarnya dapat kita
bagi atas :
a) Konotasi
baik, yang mencakup pula :
(1) Konotasi
tinggi
(2) Konotasi
ramah
b) Konotasi
tidak baik, yang mencakup pula :
(1) Konotasi
berbahaya
(2) Konotasi
tidak pantas
(3) Konotasi
tidak enak
(4) Konotasi
kasar
(5) Konotasi
keras
c) Konotasi
netral atau biasa, yang mencakup pula :
(1) Konotasi
bentukan sekolah
(2) Konotasi
kanak-kanak
(3) Konotasi
hipokoristik
(4) Konotasi
bentuk nonsens
5.3.1
konotasi tinggi
Sudah
merupakan hal yang biasa terjadi bahwa kata-kata sastra dan kata-kata klasik
lebih indah dan anggun terdengar oleh telinga umum; oleh karena itu kita tidak
perlu heran bahwa kata-kata seperti itu mendapat konotasi atau nilai rasa
tinggi.
Di
samping itu, kata-kata asing pada umumnya menimbulkan anggapan rasa segan,
terutama bila orang kurang atau sama sekali tidak memahami maknanya, lantas
memperoleh nilai rasa tinggi pula.
Di
bawah ini kita terakan sejumlah kata yang mengandung nila rasa tinggi :
Aksi gerakan
Aktif giat
Bahtera perahu, kapal
Bandar pelabuhan
Cakrawala lengkung langit
ceramah pidato membicarakan sesuatu
dirgantara udara, awang-awang
drama sandiwara
ejawantah penjelmaan
eksistensi kehidupan
fantasi bayangan
figur tokoh
fiktif rekaan
garasi kandang mobil
geologi ilmu tanah
hadiah pemberian
harta kekayaan
ikhtiar usaha
imaginasi daya angan-angan, rekaan
kalbu hati
kampiun juara
5.3.2
Konotasi Rumah
Dalam
pergaulan dan pembicaraan kita sehari-hari antara sesama anggota masyarakat,
biasa kita pakai bahasa daerah ataupun dialek untuk mengatakan hal-hal yang
langsung berhubungan dengan kehidupan. Dengan demikian terjadilah bahasa
campuran yang kadang-kadang terasa lebih ramah daripada bahasa indonesia sebab
dalam hal ini kita merasa lebih akrab, dapat saling merasakan satu sama lain,
tanpa terasa adanya kecanggungan dalam pergaulan.
Di
bawah ini kita terakan beberapa contoh kata yang terasa mengandung konotasi
ramah :
Akur cock, sesuai
Berabe susah
Besuk menengok, orang sakit
Cialat celaka
Cicil angsur
Codet bekas luka
Ngobrol bercakap-cakap
Meleset salah
Menggondol merebut, meraih
Dicopot dipecat, dicabut
Kecele ketawa
Caplok rebut, ambil
Pusing susah, repot
Ganteng gagah, gaya
Digunduli dikalahkan, dicukur
Longok tengok, jengok
Mandek berhenti, tertahan
Mangkir absen, tidak hadir
Nongkrong duduk, jongkong
Nonsen omong kosong
Omong perkataan
Ompreng besek kecil
Penasaran sangat berkehendak
5.3.3
Konotasi Berbahaya
Kata-kata
yang berkonotasi berbahaya ini erat sekali berhubungan dengan kepercayaan
masyarakat kepada hal-hal yang bersifat magis. Dalam saat-saat tertentu dalam
kehidupan masyarakat, kita harus berhati-hati mengucapkan suatu kata supaya
jangan terjadi hal-hal yang tidak kita ingini, hal-hal yang mungkin
mendatangkan mara bahaya.
Dengan
perkataan lain adalah tabu mengucapkan beberapa kata pada saat tertentu.
Demikian, bila kita berburu, mencari kayu atau rotan ke dalam hutan, maka
sangatlah terlarang atau tabu menyebut kata harimau, sebab kalau disebut
mungkin nanti bersua dengan harimau. Untuk mengelakkan hal itu maka dipakailah kata
nenek, kiai dan lain-lain.
Dalam
hal ini kata harimau mempunyai konotasi berbahaya, sedangkan kata nenek dan
kiai mengandung nilai rasa tidak berbahaya.
Di
bawah ini kita terakan pula sejumlah contoh lain :
Ular disebut tali,
ikat pinggang Raja sulaiman
Tikus disebut putri
Berak disebut buang
air besar, ke belakang
Kencing disebut buang
air kecil
Hantu disebut nenek
Pencuri disebut panjang
tangan
Pencopet disebut tukang
rogoh saku.
5.3.4
Konotasi Tidak Pantas
Dalam
kehidupan sehari-hari dalam masyarakat terdapat sejumlah kata yang jika
diucapkan tidak pada tempatnya, kata-kata tersebut mendapat nilai rasa tidak
pantas, dan si pembicara akan mendapat malu, diejek, dicela oleh masyarakat atau
keluarganya sebagai orang yang kurang sopan.
Pemakaian
atau pengucapan kata-kata yang berkonotasi tidak pantas ini dapat saja
menyinggung perasaan, terlebih-lebih bila orang yang mengucapkannya lebih
rendah martabatnya daripada teman bicara atau objek pembicaraan itu.
Demikianlah,
dalam praktek kehidupan sehari-hari, adalah tidak pantas dan kurang sopan
mengucapkan kata-kata yang berada pada lajur kiri di bawah ini; pada lajur
kanan kita terakan sinonim-sinonimnya yang mengandung konotasi yang lebih pantas
dan lebih sopan.
Beranak bersalin
Bunting hamil, mengandung
Bini isteri
Laki suami
Mampus meninggal, berpulang
Rakus kuat
makan
Pelacur tuna susila
Berak buang air besar
Tahi tinja
Bersetubuh bersenggama
Pencuri panjang tangan
Kontol kemaluan pria
Puki kemaluan wanita
Bersundal berzinah
Air kencing urine, kemih
Engkau anda
5.3.5
Konotasi Tidak Enak
Ada
sejumlah kata yang karena biasa dipakai dalam hubungan yang tidak atau kurang
baik, maka tidak enak didengar oleh telinga dan mendapat nilai rasa tidak enak.
Kata-kata semacam ini disebut dengan istilah latin “ini malem partem”.
Berikut
ini kita sajikan contoh-contoh kata yang berkonotasi tidak enak.
Orang udik orang desa
Keluyuran jalan-jalan
Royal menghamburkan-hambur
uang
Licik pandai
Lihai pintar
Koyok banyak bicara
Dongeng cerita, bicara
Cingcong ulah, omong
Petengtengan berlagak pandai
Ludes habis sama sekali
Lucah cabul, hina sekali
Loyo lemah sekali
Culas malas sekali
Mengecap memuji-muji diri sendiri
Lacur celaka, sial, sundal
Hajar pukul supaya jera
Jalang liar, tidak dipelihara
orang
Haram jadah anak yang tidak sah
Kepala udang bodoh sekali
Mata keranjang sangat gemar akan perempuan
Anak keparat anak jahanam, anak celaka.
5..3.6
Konotasi Kasar
Ada
kalanya kata-kata yang dipakai oleh rakyat jelata terdengar kasar dan mendapat
nilai rasa kasar. Biasanya kata-kata seperti itu berasal dari suatu dialek.
Berikut
ini kita sajikan sejumlah kata yang berkonotasi kasar
Mampus mati
Lu kamu
Tak becus tak mampu
Gua saya
Hajar pukul
Jagoan suka berkelai
Tumpas habis binasa sama sekali
Tahi tinja
Kontol kemaluan lelaki
Puki kemaluan wanita
Mani sperma
Tetek payu dara
Gelandangan tunawisma
Pelacur tunasusila
Buta huruf tunaaksara
Buta tunanetra
Tuli tunarungu
Penganggur tunakarya
Telanjang tunabusana
Jambret copet, rebut
Ngaco berkata tidak karuan
Algojo orang yang bengis dan
kejam
Babu pembantu rumah
tangga
Kacung jongos.
5.3.7
Konotasi Keras
Untuk
melebih-lebihkan suatu keadaan kita biasa memakai kata-kata atau
ungkapan-ungkapan. Ditinjau dari segi arti maka hal itu dapat disebut
hiperbola, dan kalau dari segi nilai rasa atau konotasi hal serupa itu dapat
disebut konotasi keras.
Mari
kita ambil contoh “Saudagar itu sangat kaya”. Ungkapan itu dapat kita ganti
dengan “Saudagar itu uangnya berpeti-peti”, walaupun dalam kenyataannya uangnya
tidaklah berpetih-peti.
Terkadang
kita tidak segan-segan mempergunakan hal yang bukan-bukan, yang tidak masuk di
akal. Tetapi suatu kenyataan ialah bahwa dalam kehidupan sehari-hari hal-hal
serupa itu setiap hari bermunculan, suatu hal yang turut memperkaya bahasa kita
akan ungkapan yang beraneka ragam.
Contoh
:
Jurang
kematian
Lembah
kemelaratan
Ngarai
kehinaan
Seribu
satu upaya
Sepeser
buta pun aku tak punya
Sulitnya
setengah mati
Memperjuangkan
perut sejengkal
Mengharapkan
sesuap nasi
Hidup
antara dua jurang
Indahnya
tak terlukiskan dengan kata-kata
Cantiknya
tidak kepalang tanggung
Ilmunya
seluas alam raya ini
Samodra
raya kehidupan
Hidup
enggan mati tak mau
Berjalan
di atas bara kehidupan
Rasa
dihimpit batu berton-ton.
Terkadang
ada pula kalanya kita lebih suka mengatakan atau memberikan sesuatu dengan
memakai perbandingan-perbandingan dan kiasan-kiasan daripada secara langsung
berterus-terang menuju sasaran. Ada beberapa cara lain untuk membuat nilai rasa
sesuatu kata menjadi keras, antara lain dengan :
a) Gabungan
dua sinonim; contoh :
Hitam
pekat
Kelam
kabut
Gelap
gulita
Jungkir
balik
Sunyi
senyap
Putih
suci
Merah
padam
Tegas
tandas
Terang
jelas
Muda
belia
Runtuh
ambruk
Gagah
perkasa
Cantik
molek
b) Ulangan
salin suara; contoh :
Mundar-mandir
Bongkar-bangkir
Terang-temerang
Pontang-panting
Lintang-pukang
Sorak-sorai
Riuh-rendah
Kaya-raya
Lenggang-lenggok
Kacau-balau
Tingkah-polah
Porak-poranda
Ramah-tamah
Pada
umumnya setiap anggota masyarakat dalam pergaulan sehari-hari antara sesamanya
berusaha untuk menahan diri serta tenggang-menenggang. Tetapi harus pula kita
akui dengan jujur bahwa tidak selamanya orang dapat mengendalikan dirinya, dan
justru pada saat-saat seperti itulah tendensi atau kecenderungan untuk
mengeraskan itu tampil ke muka menonjolkan diri.
Kesabaran
tidak tertahan lagi dan mengakibatkan orang mencurahkan segenap rasa dan emosi,
sehingga arti pusat atau central meaning terdesak jauh ke samping, dan hanya
nilai rasa sajalah yang tampil secara keras, secara kuat. Maka terjadilah
seruan, rayuan, makian, cacian, cemoohan, dan lain-lain, seperti :
Astaga
!
Bangsat
!
Kurang
ajar !
Masya
Allah !
Ya
Rabbi !
Mampus
!
Tobat
!
Aduh
mak !
Ibu
!
Aduhai
!
Setan
!
Ya
ampun !
Anak
jahanam !
Kapok
lu !
Ya
Allah !
Puji
Tuhan !
Kasihan
!
Indahnya
!
Nikmatnya
!
Tak
tahu diri !
5.3.8
Konotasi Bentukan Sekolah
Dalam
bahasa Inggris konotasi bentukan sekolah ini disebut conotation of learned from. Haruslah kita sadari benar-benar bahwa
sesungguhnya batas antara nilai rasa bentukan sekolah ini dengan nilai rasa
biasa sangat kabur. Tetapi karena frekuensi agak luas maka dapatlah kita
katakan bahwa setiap nilai rasa biasa mempunyai suatu kesejajaran dengan nilai
rasa yang dipelajari atau nilai rasa bentukan sekolah.
Maka
kita ambil contoh dari kehidupan sehari-hari. Kalau orang biasa mengatakan :
Saya
datang tengah hari.
Maka
orang terpelajar yang telah berkecimpung di sekolah beberapa tahun belajar, akan
mengatakan :
Saya
datang pukul 12.00 tepat siang.
Yang
terakhir inilah yang disebut konotasi bentukan sekolah itu.
Di
bawah ini kita terakan beberapa contoh konotasi bentukan sekolah :
(1) Nilai
ujian anak itu baik benar. (1) Nilai ujian anak itu seratus
(2) Kecepatan
mobil ini sangat tinggi. (2) Kecepatan mobil ini 200 km per jam.
(3) Perbuatanmu
itu memalukan (3) Perbuatanmu itu melanggar tata susila.
(4) Saya
akan datang nanti. (4) Saya akan datang pada pukul 9.00.
(5) Saya
bekerja sebagai pegawai negeri.(5)
Saya bekerja sebagai Guru Sekolah Dasar.
(6) Gaji
paman saya agak lumayan. (6) Gaji paman saya Rp250.000,00 sebulan.
5.3.9
Konotasi Kanak-kanak
Nilai
rasa kanak-kanak ini biasa terdapat dalam dunia kanak-kanak, tetapi adalah
merupakan suatu kenyataan bahwa orang tua pun sering pula turut-turutan
mempergunakannya. Dalam bahasa Inggris konotasi kanak-kanak ini disebut infantile connotation.
Contoh
:
Papa bapa, ayah
Mama emak, ibu
Mimi minum
Bobo tidur
Nyonyo menetek, menyusu
5.3.10
Konotasi Hipokoristik
Dalam
bahasa Inggris biasa disebut pet-name or
hypochoristic connotation dan terutama sekali dipakai dalam dunia
kanak-kanak, yaitu sebutan nama kanak-kanak yang dipendekkan lalu diulang.
Contoh
:
Lolo
Lili
Lala
Nana
Nono
Mimi
Tata
Titi
Dede
Toto
Didi
Aa
Uu
5.3.11
Konotasi Bentuk Nonsens
Dalam
bahasa Inggris disebut dengan istilah connotation
of nonsense-form.
Beberapa
diantaranya, walaupun sudah sangat lazim dipakai, sama sekali tidak mengandung
arti.
Contoh
:
Tra-la-la
Pam-pam-pam
Na-nana-nana
Tri-li-li
5.4
Turun Dan Naiknya Konotasi
Sebagaimana
halnya air laut yang mengalami pasang surut dan pasang naik, maka nilai rasa
atau konotasi pun mengalaminya pula. Turun atau naiknya sesuatu konotasi
tergantung kepada masyarakat pemakai bahasa itu. Suatu kata yang semula bernilai
rasa buruk, lama kelamaan dapat menjadi bernilai rasa baik, tergantung kepada
keadaan dan perkembangan masyarakat; begitu pula yang semula berkonotasi baik
dapat berubah menjadi berkonotasi jelek. Perubahan masyarakat kita dari alam
kolonialisme ke alam demokratis, mengakibatkan sebagian kata turun dan sebagian
lagi naik pula konotasinya. Jadi dari hasil penelitian makna kata dan nilai
rasanya dapat diketahui perkembangan suatu negara, bangsa, dan bahasanya.
Kemajuan ilmu pengetahuan turut juga berperanan dalam hal ini.
Dalam
dunia ilmiah konotasi dapat dikurangi atau ditekan seminim mungkin. Segala
istilah dalam dunia ilmiah sudah jelas dan sudah tertentu maknanya. Kebebasan
pemakaian istilah-istilah di situ sudah sangat terikat karena penerimaan dan
persetujuan dari segala pihak. Tetapi suatu kenyataan pula bila kata atau
istilah itu dibawa keluar dari bidang itu, maka mungkin pula timbul nilai-nilai
rasa yang nyata.
Contoh
:
Cita-citanya
itu nol besar.
Napasnya
senin-kamis, heran aku !
Cerita
itu melukiskan hubungan segitiga.
Rasanya
seperti pil kina.
Tingginya
seperti pohon pinang.
Makna
dan konotasi tidak ditentukan oleh etimologi. Biarpun suatu kata berasal dari
suatu etimologi yang jelek artinya, asal diterima oleh masyarakat dengan makna yang
baik, maka kata tersebut akan mempunyai konotasi yang baik. Kebiasaan pemakai
bahasa itulah yang menetukan makna dan
nilai rasa sesuatu kata “Meaning is difinable by environment”. (Nida,
1963:152).
Demikianlah,
bila ditinjau dari segi pemakaian bahasa, maka etimologi tidak mempunyai
peranan apa-apa.
5.4.1
Konotasi yang Turun
Pada
masa penjajahan atau kolonialisme dulu, kata raja dalam masyarakat kita
mempunyai nilai rasa yang tinggi sejajar dengan kedudukan dan kekuasaan raja
pada waktu itu. Tetapi sekarang, dalam alam demokratis ini, nilai rasa raja itu
sudah merosot turun.
Berikut
ini kita terakan beberapa contoh kata yang mengalami kemerosotan konotasi.
Bangsawan
Jajahan
Sultan
Daulat
Paduka
Permaisuri
Kerajaan
Syahalam
Bumiputra
Kontelir
Serdadu
Opas
Gering
Beradu
Indo
Dan
lain-lain.
5.4.2
Konotasi yang Naik
Sebaliknya
dari yang telah kita bicarakan pada 5.4.1, pada masa sekarang ini alangkah
banyaknya kata yang mempunyai konotasi tinggi sesuai dengan perkembangan
masyarakat kita.
Dalam
hal ini turut membantu alat-alat perhubungan yang sudah agak intensif dan
modern baik di darat, di laut, dan di udara, serta juga pengaruh media massa,
antara lain koran, majalah, siaran radio dan televisi.
Berikut
ini kita terakan beberapa contoh kata yang mengalami kenaikan konotasi :
Presiden
Menteri
Angkatan bersenjata
Pahlawan
Kewibawaan
Darmawisata
Pancasila
Demokrasi
Nasional
Gotong royong
Rakyat
Pendidikan
Kemerdekaan
Musyawarah
Kebudayaan
Kesenian
Bahasa
Persatuan
Satelit
Sosial
Televisi
Kerja sama
Persaudaraan
Tekad
Dan
lain-lain.
Makna
Denotatif
Makna
denotatif (denotative meaning) adalah
makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas hubungan lugas antara satuan
bahasa dan wujud di luar bahasa yang diterapi satuan bahasa itu secara tepat. Makna
denotatif adalah makna polos, makna apa adanya. Sifatnya objektif. Makna
denotatif didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa
atau yang didasarkan pada konvensi tertentu (Harimurti, 1982: 32).
Denotasi
adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang
secara bebas memegang peranan peting di dalam ujaran (Lyons, I, 1977:208).
Makna denotatif menunjuk pada acuan tanpa embel-embel. Misalnya, kata uang yang
mengandung makna benda kertas atau logam yang digunakan dalam transaksi jual
beli. Kita memaknakan kata uang tanpa mengasosiasikannya dengan hal-hal lain.
Makna yang terkandung pada kata uang tidak dihubungkan dengan hal-hal lain,
tidak ditafsirkan dalam kaitannya dengan benda atau peristiwa yang lain, makna
denotatif dapat disebut makna sebenarnya.
Ambillah
contoh yang lain, yakni kata menggarap.
Maknanya selalu dikaitkan dengan menggarap tanah, membajak, mengupayakan agar
tanah menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi. Kata menggarap tidak
dihubungkan dengan pengaruh kepada seseorang agar ia memiliki kontestan
tertentu. Jadi, makna denotatif adalah makna sebenarnya, makna yang tidak
dihubungkan dengan faktor-faktor lain, baik yang berlaku pada pembicara maupun
pada pendengar.
Pateda,
Mansoer. (2010). Semantik Leksikal (Edisi
Kedua). Jakarta: Rineka Cipta.
Makna
Konotatif
Makna
konotatif (conotative meaning) muncul
sebagai akibat asosiasi perasaan kita terhadap leksem yang kita lafalkan atau
yang kita dengar. Zgusta (1971: 38) berpendapat makna konotatif adalah makna
semua komponen pada leksem ditambah beberapa nilai mendasar yang biasanya
berfungsi designatif. Kridalaksana (1982: 91) berpendapat “aspek adalah sebuah
atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul
atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca). Dengan kata
lain makna konotatif merupakan makna leksikal + X. Misalnya, /berilah ia amplop
agar urusanmu segera selesai/, leksem amplop memiliki makna konotatif yang lain
jika kita mengatakan, /saya membeli amplop di warung/. Pada kalimat /berilah ia
amplop agar urusanmu segera selesai/, leksem /amplop/ bermakna konotatif uang
yang diisi di dalam amplop atau yang biasa disebut uang semir, uang sogok, uang
pelicin, uang pelancar. Di sini kita memperoleh kenyataan bahwa makna leksem
/amplop/ tidak sebagaimana adanya tetapi mengandung makna yang lain, yang
kadang-kadang masih berhubungan dengan sifat, rasa benda atau peristiwa yang
kita maksudkan. Dengan kata lain makna konotatif bergeser dari makna konseptual
dari leksem yang kita bicarakan.
Dalam
hubungan ini kita dapat membedakan makna konotatif dari makna konseptual.
Perbedaan itu sekurang-kurangnya dapat dilihat dari tiga hal, yakni (i) makna
konotatif tidak terbatas pada bahasa tetapi juga pada sistem komunikasi yang
lain, seperti seni dan musik, (ii) makna konotatif tidak stabil sesuai dengan
intensitas rasa yang kita miliki, dan (iii) makna konotatif tidak terbatas.
Leksem
/menggarap/ pada kalimat /petani menggarap tanahnya/, adalah hal yang wajar.
Demikian pula leksem /menggarap/ pada kalimat /anggota DPR sedang menggarap
rancangan undang-undang hak cipta/ meskipun makna konseptual leksem /menggarap/
pada kedua kalimat ini berbeda, tetapi penggunaan leksem /menggarap/ masih
tetap dalam keadaan yang wajar. Hal ini akan berbeda kalau kita mengatakan
/pemuda brandal ditangkap ketika sedang menggarap seorang anak gadis/. Leksem
/menggarap/ pada kalimat ini bermakna konotatif lain dari kedua kalimat yang
baru kita sebutkan di atas.
Dengan
demikian, makna konotatif akan lebih berhubungan dengan nilai rasa kita, apakah
perasaan senang, jengkel, jijik dan sebagainya. Itu sebabnya sering kita
mengatakan, leksem X mengandung makna konotatif yang lain dalam bahasa daerah.
Misalnya orang Gorontalo akan tersnyum kalau mendengar ada orang berkata
/uraian itu membosankan sebab bertele-tele/ sebab leksem /tele/ mengandung
makna konseptual alat kelamin perempuan dalam bahasa Gorontalo.
Pateda,
Mansoer. (1989). Semantik Leksikal. Flores:
Nusa Indah.
Denotasi
dan Konotasi (Alwasilah; 169-170)
Denotasi
mengacu kepada makna leksis yang umum dipakai atau singkatnya makma yang biasa,
objektif, belum dibayangi perasaan, nilai dan rasa tertentu. Dikatakan objektif
sebab makna denotasi ini berlaku umum. Sebaliknya, makna konotasi bersifat
subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif)
karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Kalau makna denotatif hampir bisa dimengerti banyak orang, makna
konotatif ini hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya relatif lebih
kecil.
Perhatikanlah
kata-kata Chairil Anwar dibawah ini.
Penerimaan
Kalau
kau mau kuterima kau kembali
Dengan
sepenuh hati
Aku
masih tetap sendiri
Kutahu
kau bukan yang dulu lagi
Bak
kembang sari sudah terbagi
Jangan
tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau
kau mau kuterima kembali
Untukku
sendiri tapi
Sedang
dengan cermin aku enggan berbagi.
(Chairil
Anwar, Deru Campur Debu)
Puisi
diatas begitu manis, padat di dalamnya tersembunyi nada-nada kegaiban, penuh
pesona. Perhatikan pemilihan kata: aku
masih tetap sendiri, bak kembang sari
sudah terbagi, dan sedang
cermin aku enggan berbagi. Kita melihat setiap baris sajak diatas tidak
bisa ditekuni maksudnya, kita selami
kedalam maknanya tanpa melihat tautan baris-baris lain. Makna kata dan ungkapan
adalah persoalan konteks.
http://mersiku.jw.lt/materi/bahasa_indonesia_3.
Makna
Denotasi
Makna
denotasi merupakan makna kata yang sesuai dengan makna yang sebenarnya atau
sesuai dengan makna kamus. Makna denotasi lazim disebut 1) makna konseptual
yaitu makna yang sesuai dengan hasil observasi (pengamatan) menurut
penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman yang berhubungan
dengan informasi (data) faktual dan objektif. 2) makna sebenarnya, umpamanya,
kata kursi yaitu tempat duduk yang berkaki empat (makna sebenarnya). 3) makna
lugas yaitu makna apa adanya, lugu, polos, makna sebenarnya, bukan makna kias.
Contoh
:
1. Adik makan nasi. ( makan artinya
memasukkan sesuatu ke dalam mulut )
2. Harga kambing hitam itu sangat mahal. (
kambing hitam bermakna kambingg yang memiliki warna hitam )
2. Makna konotasi
Makna
konotasi merupakan makna kiasan atau makna yang timbul setelah disusun dalam
kalimat.
Contoh
:
1. Dalam peristiwa itu, dia dijadikan
kambing hitam. (kambing hitam bermakna orang yang dipersalahkan)
2. Anak itu berangkat besar ketika ayahnya
pergi ke Jepang. ( berangkat bermakna beranjak atau mulai menjadi )
3. Bunga desa itu sudah menjadi karyawan
bank.(Kata “bunga desa” bermakna sesuatu yang dianggap cantik)
Makna
konotasi dibagi menjadi 2 yaitu :
A. Konotasi positif merupakan kata yang
memiliki makna yang dirasakan baik dan lebih sopan.
Contoh
:
1. Sebagai seorang istri harus pandai
menyenangkan suami.
2. Biaya pemakaman para korban bencana
alam ditanggung pemerintah setempat.
3. Para wanita tuna susila bekerja akibat
tuntutan kebutuhan ekonomi.
4. Tiga pahlawan reformasi telah gugur
lima tahun yang lalu. ( Kata “gugur” bermakna mati dalam pertempuran )
B. Konotasi negatif merupakan kata yang
bermakna kasar atau tidak sopan.
Contoh
:
1. Selama meringkuk di penjara, Roy
berubah menjadi pendiam. ( Kata penjara bermakna tempat mengurung badan )
2. Masih ada segerombolan orang yang suka
menebang demi keuntungan pribadi. (Kata “gerombolan” bermakna kawanan pengacau /
perusuh.)
3. Banyak gelandangan tidur di bawah
jembatan.
Berikut
adalah contoh-contoh kata yang bermakna denotasi dan konotasi
1)
meluap
denotasi
: Banjir yang terjadi kemarin disebabkan oleh air sungai yang meluap tak mampu
dikendalikan
oleh tanggul yang ada disekitanya.
konotasi
: Kemarahan Pak Budi makin hari tambah meluap karena masalah yang
diperbantahkan itu
tidak
pernah menemukan titik permasalahannya.
2)
penuh
denotasi
: Lokasi yang akan dijadikan sebagai tempat pusat hiburan itu telah terisi penuh
oleh
pemukiman
penduduk.
konotasi
: Pekerjaan itu dilakukannya dengan penuh rasa tanggung jawab.
3)
naik
denotasi
: Pak Halim pergi ke Makassar dengan naik mobil pribadi.
konotasi
: Naik turunnya harga barang sangat dipengaruhi oleh jumlah permintaan konsumen.
4)
tumbuh
denotasi
: Pohon mangga yang tumbuh di halaman rumah Pak Ilham memiliki buah yang besar-
besar.
konotasi
: Kondisi perekonomian Indonesia mulai tumbuh sejak beralihnya sistem
pemerintahan ke
era
reformasi.
5)
atas
denotasi
: Di atas pohon yang rindang itu ada terdapat beberapa sarang burung hantu.
konotasi
: Irama yang muncul pada permukaan tembok itu ditimbulkan atas beberapa
perpaduan
warna
6)
kendali
denotasi
: Nakhoda memberikan instruksi kepada para penumpang kapal agar waspada, sebab
kendali
dalam kapal sedang mengalami gangguan.
konotasi
: Peristiwa itu terjadi saat dirinya telah kehilangan kendali.(kontrol)
7)
panas
denotasi
: Permukaan kulit pada anak itu lecet akibat tersiram air panas.
konotasi
: Suhu dalam ruangan itu semakin panas ketika peserta diskusi dalm ruangan itu
saling
beradu
argumen. (panas=ketegangan)
8)
hancur
denotasi
: Mainan anak pak lurah hancur terinjak mobil.
konotasi
: Semua perkataannya kedengaran hancur akibat terbawa emosi .(hancur= tidak
masuk
akal).
9)
arus
denotasi
: Adik terseret arus yang sangat deras saat menyeberang sebuah sungai di tepi
rumahnya.
konotasi
: Arus balik pada lebaran tahun depan diprediksikan akan lebih banyak
dibandingkan tahun
kemarin.
(arus=sistem)
10)
hangus
denotasi
: Bau hangus itu dihasilkan dari pembakaran sisa-sisa plastik dan kertas yang
ada di tepi jalan
itu.
konotasi
: Semua dana yang dianggarkan telah hangus akibat program kerja yang tidak
tertata dengan
rapi.
(hangus=ludes)
BAB III
SIMPULAN
Kesimpulan
dari makalah ini bahwa pemahaman tergantung dari kondisi interpretasi
serangkaian ujaran menurut konteksnya. Denotasi adalah batasan kamus atau
definisi utama sesuatu kata, sebagai lawan daripada konotasi-konotasinya atau
makna-makna yang ada kaitannya dengan itu. Sedangkan konotasi adalah
kesan-kesan atau asosias-asosiasi, biasanya yang bersifat emosional yang
ditimbulkan oleh sebuah kata samping batasan kamus atau definisi utamanya.
Ragam-ragam konotasi konotasi tinggi, ramah, berbahaya, tidak pantas, tidak enak,
kasar, keras, bentukan sekolah, kanak-kanak, hipokoristik, dan bentuk nonsens.
Ada juga turun dan naiknya konotasi dibagi 2 konotasi yang naik dan turun.
DAFTAR PUSTAKA
Tarigan 2009. Semantik. Bandung : Angkasa
No comments:
Post a Comment