Monday, December 19, 2016

DENOTASI DAN KONOTASI

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Beberapa ahli mengatakan bahwa “dalam telaah bahasa, seperti juga halnya dalam setiap telaah bersistem lainnya, tidak ada istilah atau terminologi yang netral; setiap istilah teknik merupakan pengekspresian asumsi-asumsi dan perkiraan-perkiraan teoritis dari para pemakainya.
Menyadari kebenaran ucapan tersebut maka dalam bab ini kita akan berusaha menjelaskan beberapa istilah yang dipergunakan, khususnya yang ada kaitannya dengan semantik. Secara singkat semantik adalah telaah mengenai makna (George, 1964 : 1), tetapi batasan seperti itu belum memuaskan kita. Istilah semantik dapat dipakai dalam pengertian luas dan pengertian sempit.
Makna leksikal bisa pula dibagi menjadi dua jenis, yaitu makna denotasi dan konotasi. Denotasi-denotasi sesuatu kata merupakan makna-makna yang bersifat umum, tradisional, dan presedensial. Denotasi-denotasi tersebut biasanya merupakan hasil penggunaan atau pemakaian kata-kata selama berabad-abad; semua itu akhirnya termuat dalam kamus dan berubah dengan cara yang sangat lambat. Sebaliknya konotasi-konotasi yang merupakan responsi emosional yang sering kali bersifat perorangan timbul dalam kebanyakan kata-kata leksial pada kebanyakan para pemakainya. justru konotasinyandan bukan denotasi yang memisahkan.

1.2  Rumusan Masalah
Dalam penulisan masalah mengenai semantik bila kita tidak menetukan patokan-patokan yang jelas mengenai hal-hal yang akan kita bahas tentunya kita akan memperoleh kesulitan dalam mengembangkan makalah ini. Mengingat adanya keterbatasan dalam kemampuan penyusun dan demi terarahnya penyusunan makalah maka penyusun membatasi permasalahan pada hal-hal:
1.      Apa pengertian denotasi ?
2.      Apa pengertian konotasi ?
3.      Apa perbedaan denotasi dan konotasi ?
4.      Sebutkan ragam-ragam konotasi ?
5.      Apa yang dimaksud turun dan naiknya konotasi ?

1.3  Tujuan
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah Semanti. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.     Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan daerah.
2.      Untuk mengetahui dan memahami denotasi dan konotasi.
3.      Untuk memahami perbedaan denotasi dan konotasi.
4.      Untuk mengetahui ragam-ragam konotasi.
5.      Untuk referensi bagi rekan mahasiswa.

1.4  Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah :  
1.      Menambah ilmu pengetahuan
2.      Meningkatkan intelektualitas serta memperdalam penghayatan keilmuan;
3.      Dari isi makalah ini kita bisa mengetahui lebih jauh tentang denotasi dan konotasi.
4.      Mengetahui dan memahami perbedaan denotasi dan konotasi
5.   Mengetahui dengan lebih jelas mengenai ragam-ragam konotasi.








BAB II
DENOTASI DAN KONOTASI
2.1 Pengantar
Semantik adalah studi tentang makna (Lyons I. 1977:1 dalam Pateda).
Pada pembicaraan terdahulu, khususnya pada 1.4.2 telah kita utarakan bahwa “makna leksikal biasa pula dibagi menjadi dua jenis, yaitu makna denotatif dan makna konotatif”. Denotasi-denotasi sesuatu kata merupakan makna-makna yang bersifat “umum, tradisional dan presedensial”.
Denotasi-denotasi tersebut biasanya merupakan hasil penggunaan atau pemakaian kata-kata selama berabad-abad; semua itu akhirnya termuat dalam kamus dan berubah dengan cara yang sangat lambat.
Sebaliknya, konotasi-konotasi yang merupakan responsi-responsi emosional yang seringkali bersifat perorangan timbul dalam kebanyakan kata-kata leksikal pada kebanyakan para pemakainya. Justru konotasinyalah, dan bukan denotasinya, yang memisahkan :
Langsing dan kurus
Gagah dan gemuk
Kasar dan agresif, dan
Agresif dan  tegas.
Setiap kata pada pasangan di atas pada prinsipnya mengandung denotasi atau makna pusat yang sama, tetapi jelas kata-kata tersebut menimbulkan responsi-responsi yang berbeda karena konotasi-konotasi yang terkandung di dalamnya. Namum demikian konotasi-konotasi tersebut masih dapat dikatakan bersifat kolektif. Kebanyakan orang akan menyetujui bahwa “langsing” misalnya, merupakan hal yang disenangi, sedangkan “kurus” membayangkan kekrempengan akibat kurang urus. (Heatherington, 1980 : 135-6).
Telaah sinonim yang telah kita bicarakan pada Bab Dua pada prinsipnya memberi kesempatan yang sangat baik kepada para guru untuk mengajarkan konsep-konsep yang berkaitan dengan aspek-aspek denotatif dan konotatif perkembangan kosakata. Pada umumnya kamus-kamus berisikan daftar denotasi (makna literal, makna pusat) sesuatu kata. Definisi-definisi atau batasan-batasan serupa itu (yang pada umumnya telah dibuat sebaik mungkin) masih dapat diperluas dan dikembangkan dengan sarana-sarana ilustratif seperti gambar-gambar dan sinonim-sinonim. (Dale, 1971 : 52-3).
Tetapi haruslah pula kita sadari benar-benar bahwa sinonim yang mempergunakan definisi, atau dengan perkataan lain “definisi dengan sinonim” itu hanya berguna kalau sinonim tersebut ternyata kurang sukar daripada kata yang dibatasi atau diberi definisi.
Contoh :
Berilmu adalah pintar
Ekonomis  adalah hemat
Dalam contoh di atas kata-kata pintar dan hemat lebih mudah dimengerti daripada kata-kata berilmu dan ekonomis.
Sehubungan dengan batasam denotatif ini, seorang ahli dengan tegas mengatakan bahwa “apabila kata-kata itu sama asingnya, maka kita tidak memperoleh keuntungan apa-apa dan kita mungkin saja tidak berfungsi sebagai pemaham atau penerima dalam proses tersebut”. (Berlo, 1960 : 193-4).

2.2 Perbedaan Antara Denotasi Dan Konotasi
Makna denotatif suatu kata kerapkali diperluas atau direntangkan dengan makna konotatifnya- suatu makna yang ditambahkan atau suatu makna tambahan yang dinyatakan secara tidak langsung oleh kata tersebut.
Sebagai lawan dari denotasi maka konotasi suatu kata merupakan lingkaran gagasan-gagasan dan perasaan-perasaan yang mengelilingi kata tersebut, dan juga emosi-emosi yang ditimbulkan oleh kata tersebut. Kita dapat melihat dengan jelas perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam sinonim-sinonim suatu kata tertentu. Setiap sinonim bagi kata penjara berikut ini mengandung suatu konotasi tertentu.
Penjara :         tutupan
tahanan
lembaga pemasyarakatan
bui
terungku
kurungan
begitu pula dapat kita lihat bahwa makna-makna konotatif ini dapat juga mengandung berbagai ragam pengalaman dalam kehidupan. Perhatikanlah baik-baik bahwa setiap sinonim bagi kata laki-laki berikut ini mengandung konotasi khusus sebagai tambahan terhadap denotasinya.
Laki-laki :        pria, suami,
ayah, putra,
pakcik, paman,
saudara, jejaka,
kakek, duda,
cowok, jantan,
bujang, tuan.
Dari pembicaraan di atas jelaskan bagi kita bahwa bila kita berbicara mengenai penggunaan kata yang tepat maka konotasi dan denotasi itu tidak sama. Perbedaannya adalah sebagai berikut : Denotasi adalah makna kata. Konotasi adalah pancaran impresi-impresi yang tidak dapat dirasa dan tidak dapat dinyatakan secara jelas yang mengelilinginya. Konotasi adalah segala sesuatu yang kita pikirkan apabila kita melihat kata tersebut, yang mungkin dan juga mungkin tidak sesuai dengan makna sebenarnya.” Mari kita ambil contoh kata langsing dan kurus itu kembali. Arti pusat kedua kata itu jelas sama, tetapi dalam hubungannya dengan manusia, kedua kata itu mengacu atau menunjuk kepada seseorang yang mempunyai berat yang kurang. Konotasi kedua kata tersebut jelas berbeda. Menjadi orang yang langsing jelas menjadi idaman, impian, keinginan orang dalam masyarakat, sedangkan menjadi orang kurus jelas tidak diingini orang, karena hal itu mengandung konotasi negatif, kurang gizi, kurang urus badan. (Kelsch & Kelsch, 1981 : 79-80).
Selanjutnya ada pula ahli yang membuat keterangan serta perbedaan antara denotasi dan konotasi sebagai berikut ini :
“Denotasi adalah batasan kamus atau definisi utama sesuatu kata, sebagai lawan daripada konotasi-konotasinya atau makna-makna yang ada kaitannya dengan itu”.
“Konotasi adalah kesan-kesan atau asosiasi-asosiasi biasanya yang bersifat emosional yang ditimbulkan oleh sebuah kata di samping batasan kamus atau definisi utamanya”. (Warriner [et al], 1977: 602).
Ditinjau dari segi pemakaiannya dalam karya tulis pun ada perbedaan antara denotasi dan konotasi ini, antara lain :
a)      Karya tulis yang bersifat ilmiah pada umumnya mempergunakan kata-kata yang bersifat denotatif; sedangkan
b)      Karya tulis yang bernilai sastra pada umumnya mempergunakan kata-kata yang bersifat konotatif.

2.3 Ragam Konotasi
Dalam uraian di muka telah kita perbincangkan pengertian konotasi atau nilai rasa. Sekarang kita akan memperbincangkan ragam konotasi yang terdapat dalam bahasa indonesia yang kita pergunakan sehari-hari.
Kita semua maklum bahwa seseorang itu di satu pihak berdiri sendiri dan di pihak lain adalah sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu konotasi pun ada yang bersifat individual dan ada pula yang bersifat kolektif.
Yang disebut konotasi individual adalah nilai rasa yang hanya menonjolkan diri bagi orang perseorangan. Kita maklum bahwa setiap individu dalam hidup ini mempunyainya.
Yang disebut konotasi kolektif adalah nilai rasa yang berlaku untuk para anggota sesuatu golongan atau masyarakat.
Perlu diketahui benar-benar bahwa penelitian terhadap nilai rasa individual jauh lebih sulit daripada nilai rasa kolektif, sebab untuk mengetahui nilai rasa individual kita harus meneliti setiap individu baik lahir maupun batin, sejarah, perkembangannya aspek-aspek lainnya. Berdasarkan hal itu maka dalam buku kecil ini kita lebih menitikberatkan pembicaraan pada nilai rasa kolektif saja.


Selanjutnya konotasi kolektif atau nilai rasa kelompok ini secara garis besarnya dapat kita bagi atas :
a)      Konotasi baik, yang mencakup pula :
(1)   Konotasi tinggi
(2)   Konotasi ramah
b)      Konotasi tidak baik, yang mencakup pula :
(1)   Konotasi berbahaya
(2)   Konotasi tidak pantas
(3)   Konotasi tidak enak
(4)   Konotasi kasar
(5)   Konotasi keras
c)      Konotasi netral atau biasa, yang mencakup pula :
(1)   Konotasi bentukan sekolah
(2)   Konotasi kanak-kanak
(3)   Konotasi hipokoristik
(4)   Konotasi bentuk nonsens


5.3.1 konotasi tinggi
Sudah merupakan hal yang biasa terjadi bahwa kata-kata sastra dan kata-kata klasik lebih indah dan anggun terdengar oleh telinga umum; oleh karena itu kita tidak perlu heran bahwa kata-kata seperti itu mendapat konotasi atau nilai rasa tinggi.
Di samping itu, kata-kata asing pada umumnya menimbulkan anggapan rasa segan, terutama bila orang kurang atau sama sekali tidak memahami maknanya, lantas memperoleh nilai rasa tinggi pula.
Di bawah ini kita terakan sejumlah kata yang mengandung nila rasa tinggi :
Aksi                 gerakan
Aktif                 giat
Bahtera           perahu, kapal
Bandar            pelabuhan
Cakrawala      lengkung langit
ceramah          pidato membicarakan sesuatu
dirgantara       udara, awang-awang
drama              sandiwara
ejawantah        penjelmaan
eksistensi         kehidupan
fantasi              bayangan
figur                 tokoh
fiktif                 rekaan
garasi              kandang mobil
geologi            ilmu tanah
hadiah             pemberian
harta                kekayaan
ikhtiar              usaha
imaginasi         daya angan-angan, rekaan
kalbu               hati
kampiun          juara

5.3.2 Konotasi Rumah
Dalam pergaulan dan pembicaraan kita sehari-hari antara sesama anggota masyarakat, biasa kita pakai bahasa daerah ataupun dialek untuk mengatakan hal-hal yang langsung berhubungan dengan kehidupan. Dengan demikian terjadilah bahasa campuran yang kadang-kadang terasa lebih ramah daripada bahasa indonesia sebab dalam hal ini kita merasa lebih akrab, dapat saling merasakan satu sama lain, tanpa terasa adanya kecanggungan dalam pergaulan.
Di bawah ini kita terakan beberapa contoh kata yang terasa mengandung konotasi ramah :
Akur                cock, sesuai
Berabe             susah
Besuk               menengok, orang sakit
Cialat              celaka
Cicil                 angsur
Codet               bekas luka
Ngobrol           bercakap-cakap
Meleset            salah
Menggondol    merebut, meraih
Dicopot           dipecat, dicabut
Kecele             ketawa
Caplok             rebut, ambil
Pusing             susah, repot
Ganteng          gagah, gaya
Digunduli        dikalahkan, dicukur
Longok            tengok, jengok
Mandek           berhenti, tertahan
Mangkir           absen, tidak hadir
Nongkrong      duduk, jongkong
Nonsen            omong kosong
Omong                        perkataan
Ompreng         besek kecil
Penasaran       sangat berkehendak

5.3.3 Konotasi Berbahaya
Kata-kata yang berkonotasi berbahaya ini erat sekali berhubungan dengan kepercayaan masyarakat kepada hal-hal yang bersifat magis. Dalam saat-saat tertentu dalam kehidupan masyarakat, kita harus berhati-hati mengucapkan suatu kata supaya jangan terjadi hal-hal yang tidak kita ingini, hal-hal yang mungkin mendatangkan mara bahaya.
Dengan perkataan lain adalah tabu mengucapkan beberapa kata pada saat tertentu. Demikian, bila kita berburu, mencari kayu atau rotan ke dalam hutan, maka sangatlah terlarang atau tabu menyebut kata harimau, sebab kalau disebut mungkin nanti bersua dengan harimau. Untuk mengelakkan hal itu maka dipakailah kata nenek, kiai dan lain-lain.
Dalam hal ini kata harimau mempunyai konotasi berbahaya, sedangkan kata nenek dan kiai mengandung nilai rasa tidak berbahaya.
Di bawah ini kita terakan pula sejumlah contoh lain :
Ular     disebut            tali, ikat pinggang Raja sulaiman
Tikus    disebut            putri
Berak   disebut            buang air besar, ke belakang
Kencing disebut          buang air kecil
Hantu  disebut            nenek
Pencuri disebut           panjang tangan
Pencopet disebut         tukang rogoh saku.

5.3.4 Konotasi Tidak Pantas
Dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat terdapat sejumlah kata yang jika diucapkan tidak pada tempatnya, kata-kata tersebut mendapat nilai rasa tidak pantas, dan si pembicara akan mendapat malu, diejek, dicela oleh masyarakat atau keluarganya sebagai orang yang kurang sopan.
Pemakaian atau pengucapan kata-kata yang berkonotasi tidak pantas ini dapat saja menyinggung perasaan, terlebih-lebih bila orang yang mengucapkannya lebih rendah martabatnya daripada teman bicara atau objek pembicaraan itu.
Demikianlah, dalam praktek kehidupan sehari-hari, adalah tidak pantas dan kurang sopan mengucapkan kata-kata yang berada pada lajur kiri di bawah ini; pada lajur kanan kita terakan sinonim-sinonimnya yang mengandung konotasi yang lebih pantas dan lebih sopan.
Beranak           bersalin
Bunting            hamil, mengandung
Bini                  isteri
Laki                 suami
Mampus          meninggal, berpulang
Rakus              kuat makan
Pelacur            tuna susila
Berak               buang air besar
Tahi                 tinja
Bersetubuh      bersenggama
Pencuri            panjang tangan
Kontol             kemaluan pria
Puki                 kemaluan wanita
Bersundal        berzinah
Air kencing      urine, kemih
Engkau            anda

5.3.5 Konotasi Tidak Enak
Ada sejumlah kata yang karena biasa dipakai dalam hubungan yang tidak atau kurang baik, maka tidak enak didengar oleh telinga dan mendapat nilai rasa tidak enak. Kata-kata semacam ini disebut dengan istilah latin “ini malem partem”.
Berikut ini kita sajikan contoh-contoh kata yang berkonotasi tidak enak.
Orang udik                  orang desa
Keluyuran                   jalan-jalan
Royal                           menghamburkan-hambur uang
Licik                            pandai
Lihai                            pintar
Koyok                          banyak bicara
Dongeng                     cerita, bicara
Cingcong                     ulah, omong
Petengtengan              berlagak pandai
Ludes                           habis sama sekali
Lucah                          cabul, hina sekali
Loyo                            lemah sekali
Culas                           malas sekali
Mengecap                    memuji-muji diri sendiri
Lacur                           celaka, sial, sundal
Hajar                           pukul supaya jera
Jalang                         liar, tidak dipelihara orang
Haram jadah               anak yang tidak sah
Kepala udang              bodoh sekali
Mata keranjang           sangat gemar akan perempuan
Anak keparat               anak jahanam, anak celaka.

5..3.6 Konotasi Kasar
Ada kalanya kata-kata yang dipakai oleh rakyat jelata terdengar kasar dan mendapat nilai rasa kasar. Biasanya kata-kata seperti itu berasal dari suatu dialek.
Berikut ini kita sajikan sejumlah kata yang berkonotasi kasar
Mampus                      mati
Lu                                kamu
Tak becus                    tak mampu
Gua                             saya
Hajar                           pukul
Jagoan                        suka berkelai
Tumpas                       habis binasa sama sekali
Tahi                             tinja
Kontol                         kemaluan lelaki
Puki                             kemaluan wanita
Mani                            sperma
Tetek                            payu dara
Gelandangan              tunawisma
Pelacur                        tunasusila
Buta huruf                   tunaaksara
Buta                             tunanetra
Tuli                              tunarungu
Penganggur                tunakarya
Telanjang                    tunabusana
Jambret                       copet, rebut
Ngaco                          berkata tidak karuan
Algojo                          orang yang bengis dan kejam
Babu                            pembantu rumah tangga
Kacung                        jongos.

5.3.7 Konotasi Keras
Untuk melebih-lebihkan suatu keadaan kita biasa memakai kata-kata atau ungkapan-ungkapan. Ditinjau dari segi arti maka hal itu dapat disebut hiperbola, dan kalau dari segi nilai rasa atau konotasi hal serupa itu dapat disebut konotasi keras.
Mari kita ambil contoh “Saudagar itu sangat kaya”. Ungkapan itu dapat kita ganti dengan “Saudagar itu uangnya berpeti-peti”, walaupun dalam kenyataannya uangnya tidaklah berpetih-peti.
Terkadang kita tidak segan-segan mempergunakan hal yang bukan-bukan, yang tidak masuk di akal. Tetapi suatu kenyataan ialah bahwa dalam kehidupan sehari-hari hal-hal serupa itu setiap hari bermunculan, suatu hal yang turut memperkaya bahasa kita akan ungkapan yang beraneka ragam.
Contoh :
Jurang kematian
Lembah kemelaratan
Ngarai kehinaan
Seribu satu upaya
Sepeser buta pun aku tak punya
Sulitnya setengah mati
Memperjuangkan perut sejengkal
Mengharapkan sesuap nasi
Hidup antara dua jurang
Indahnya tak terlukiskan dengan kata-kata
Cantiknya tidak kepalang tanggung
Ilmunya seluas alam raya ini
Samodra raya kehidupan
Hidup enggan mati tak mau
Berjalan di atas bara kehidupan
Rasa dihimpit batu berton-ton.

Terkadang ada pula kalanya kita lebih suka mengatakan atau memberikan sesuatu dengan memakai perbandingan-perbandingan dan kiasan-kiasan daripada secara langsung berterus-terang menuju sasaran. Ada beberapa cara lain untuk membuat nilai rasa sesuatu kata menjadi keras, antara lain dengan :
a)      Gabungan dua sinonim; contoh :
Hitam pekat
Kelam kabut
Gelap gulita
Jungkir balik
Sunyi senyap
Putih suci
Merah padam
Tegas tandas
Terang jelas
Muda belia
Runtuh ambruk
Gagah perkasa
Cantik molek
b)      Ulangan salin suara; contoh :
Mundar-mandir
Bongkar-bangkir
Terang-temerang
Pontang-panting
Lintang-pukang
Sorak-sorai
Riuh-rendah
Kaya-raya
Lenggang-lenggok
Kacau-balau
Tingkah-polah
Porak-poranda
Ramah-tamah
Pada umumnya setiap anggota masyarakat dalam pergaulan sehari-hari antara sesamanya berusaha untuk menahan diri serta tenggang-menenggang. Tetapi harus pula kita akui dengan jujur bahwa tidak selamanya orang dapat mengendalikan dirinya, dan justru pada saat-saat seperti itulah tendensi atau kecenderungan untuk mengeraskan itu tampil ke muka menonjolkan diri.
Kesabaran tidak tertahan lagi dan mengakibatkan orang mencurahkan segenap rasa dan emosi, sehingga arti pusat atau central meaning terdesak jauh ke samping, dan hanya nilai rasa sajalah yang tampil secara keras, secara kuat. Maka terjadilah seruan, rayuan, makian, cacian, cemoohan, dan lain-lain, seperti :
Astaga !
Bangsat !
Kurang ajar !
Masya Allah !
Ya Rabbi !
Mampus !
Tobat !
Aduh mak !
Ibu !
Aduhai !
Setan !
Ya ampun !
Anak jahanam !
Kapok lu !
Ya Allah !
Puji Tuhan !
Kasihan !
Indahnya !
Nikmatnya !
Tak tahu diri !

5.3.8 Konotasi Bentukan Sekolah
Dalam bahasa Inggris konotasi bentukan sekolah ini disebut conotation of learned from. Haruslah kita sadari benar-benar bahwa sesungguhnya batas antara nilai rasa bentukan sekolah ini dengan nilai rasa biasa sangat kabur. Tetapi karena frekuensi agak luas maka dapatlah kita katakan bahwa setiap nilai rasa biasa mempunyai suatu kesejajaran dengan nilai rasa yang dipelajari atau nilai rasa bentukan sekolah.
Maka kita ambil contoh dari kehidupan sehari-hari. Kalau orang biasa mengatakan :
Saya datang tengah hari.
Maka orang terpelajar yang telah berkecimpung di sekolah beberapa tahun belajar, akan mengatakan :
Saya datang pukul 12.00 tepat siang.
Yang terakhir inilah yang disebut konotasi bentukan sekolah itu.
Di bawah ini kita terakan beberapa contoh konotasi bentukan sekolah :
(1)   Nilai ujian anak itu baik benar.           (1) Nilai ujian anak itu  seratus
(2)   Kecepatan mobil ini sangat tinggi.      (2) Kecepatan mobil ini 200 km per jam.
(3)   Perbuatanmu itu memalukan              (3) Perbuatanmu itu melanggar tata susila.
(4)   Saya akan datang nanti.                      (4) Saya akan datang pada pukul 9.00.
(5)   Saya bekerja sebagai pegawai negeri.(5) Saya bekerja sebagai Guru Sekolah Dasar.
(6)   Gaji paman saya agak lumayan.         (6) Gaji paman saya Rp250.000,00 sebulan.

5.3.9 Konotasi Kanak-kanak
Nilai rasa kanak-kanak ini biasa terdapat dalam dunia kanak-kanak, tetapi adalah merupakan suatu kenyataan bahwa orang tua pun sering pula turut-turutan mempergunakannya. Dalam bahasa Inggris konotasi kanak-kanak ini disebut infantile connotation.
Contoh :
Papa                bapa, ayah
Mama              emak, ibu
Mimi                minum
Bobo                tidur
Nyonyo            menetek, menyusu

5.3.10 Konotasi Hipokoristik
Dalam bahasa Inggris biasa disebut pet-name or hypochoristic connotation dan terutama sekali dipakai dalam dunia kanak-kanak, yaitu sebutan nama kanak-kanak yang dipendekkan lalu diulang.
Contoh :
Lolo
Lili
Lala
Nana
Nono
Mimi
Tata
Titi
Dede
Toto
Didi
Aa
Uu

5.3.11 Konotasi Bentuk Nonsens
Dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah connotation of nonsense-form.
Beberapa diantaranya, walaupun sudah sangat lazim dipakai, sama sekali tidak mengandung arti.
Contoh :
Tra-la-la
Pam-pam-pam
Na-nana-nana
Tri-li-li

5.4 Turun Dan Naiknya Konotasi
Sebagaimana halnya air laut yang mengalami pasang surut dan pasang naik, maka nilai rasa atau konotasi pun mengalaminya pula. Turun atau naiknya sesuatu konotasi tergantung kepada masyarakat pemakai bahasa itu. Suatu kata yang semula bernilai rasa buruk, lama kelamaan dapat menjadi bernilai rasa baik, tergantung kepada keadaan dan perkembangan masyarakat; begitu pula yang semula berkonotasi baik dapat berubah menjadi berkonotasi jelek. Perubahan masyarakat kita dari alam kolonialisme ke alam demokratis, mengakibatkan sebagian kata turun dan sebagian lagi naik pula konotasinya. Jadi dari hasil penelitian makna kata dan nilai rasanya dapat diketahui perkembangan suatu negara, bangsa, dan bahasanya. Kemajuan ilmu pengetahuan turut juga berperanan dalam hal ini.
Dalam dunia ilmiah konotasi dapat dikurangi atau ditekan seminim mungkin. Segala istilah dalam dunia ilmiah sudah jelas dan sudah tertentu maknanya. Kebebasan pemakaian istilah-istilah di situ sudah sangat terikat karena penerimaan dan persetujuan dari segala pihak. Tetapi suatu kenyataan pula bila kata atau istilah itu dibawa keluar dari bidang itu, maka mungkin pula timbul nilai-nilai rasa yang nyata.
Contoh :
Cita-citanya itu nol besar.
Napasnya senin-kamis, heran aku !
Cerita itu melukiskan hubungan segitiga.
Rasanya seperti pil kina.
Tingginya seperti pohon pinang.
Makna dan konotasi tidak ditentukan oleh etimologi. Biarpun suatu kata berasal dari suatu etimologi yang jelek artinya, asal diterima oleh masyarakat dengan makna yang baik, maka kata tersebut akan mempunyai konotasi yang baik. Kebiasaan pemakai bahasa itulah yang menetukan  makna dan nilai rasa sesuatu kata “Meaning is difinable by environment”. (Nida, 1963:152).
Demikianlah, bila ditinjau dari segi pemakaian bahasa, maka etimologi tidak mempunyai peranan apa-apa.

5.4.1 Konotasi yang Turun
Pada masa penjajahan atau kolonialisme dulu, kata raja dalam masyarakat kita mempunyai nilai rasa yang tinggi sejajar dengan kedudukan dan kekuasaan raja pada waktu itu. Tetapi sekarang, dalam alam demokratis ini, nilai rasa raja itu sudah merosot turun.
Berikut ini kita terakan beberapa contoh kata yang mengalami kemerosotan konotasi.
Bangsawan
Jajahan
Sultan
Daulat
Paduka
Permaisuri
Kerajaan
Syahalam
Bumiputra
Kontelir
Serdadu
Opas
Gering
Beradu
Indo
Dan lain-lain.

5.4.2 Konotasi yang Naik
Sebaliknya dari yang telah kita bicarakan pada 5.4.1, pada masa sekarang ini alangkah banyaknya kata yang mempunyai konotasi tinggi sesuai dengan perkembangan masyarakat kita.
Dalam hal ini turut membantu alat-alat perhubungan yang sudah agak intensif dan modern baik di darat, di laut, dan di udara, serta juga pengaruh media massa, antara lain koran, majalah, siaran radio dan televisi.
Berikut ini kita terakan beberapa contoh kata yang mengalami kenaikan konotasi :
Presiden
Menteri
Angkatan bersenjata
Pahlawan
Kewibawaan
Darmawisata
Pancasila
Demokrasi
Nasional
Gotong royong
Rakyat
Pendidikan
Kemerdekaan
Musyawarah
Kebudayaan
Kesenian
Bahasa
Persatuan
Satelit
Sosial
Televisi
Kerja sama
Persaudaraan
Tekad
Dan lain-lain.

Makna Denotatif

Makna denotatif (denotative meaning) adalah makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas hubungan lugas antara satuan bahasa dan wujud di luar bahasa yang diterapi satuan bahasa itu secara tepat. Makna denotatif adalah makna polos, makna apa adanya. Sifatnya objektif. Makna denotatif didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan pada konvensi tertentu (Harimurti, 1982: 32).
Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan peting di dalam ujaran (Lyons, I, 1977:208). Makna denotatif menunjuk pada acuan tanpa embel-embel. Misalnya, kata uang yang mengandung makna benda kertas atau logam yang digunakan dalam transaksi jual beli. Kita memaknakan kata uang tanpa mengasosiasikannya dengan hal-hal lain. Makna yang terkandung pada kata uang tidak dihubungkan dengan hal-hal lain, tidak ditafsirkan dalam kaitannya dengan benda atau peristiwa yang lain, makna denotatif dapat disebut makna sebenarnya.
Ambillah contoh yang lain, yakni kata menggarap. Maknanya selalu dikaitkan dengan menggarap tanah, membajak, mengupayakan agar tanah menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi. Kata menggarap tidak dihubungkan dengan pengaruh kepada seseorang agar ia memiliki kontestan tertentu. Jadi, makna denotatif adalah makna sebenarnya, makna yang tidak dihubungkan dengan faktor-faktor lain, baik yang berlaku pada pembicara maupun pada pendengar.

Pateda, Mansoer. (2010). Semantik Leksikal (Edisi Kedua). Jakarta: Rineka Cipta.

Makna Konotatif

Makna konotatif (conotative meaning) muncul sebagai akibat asosiasi perasaan kita terhadap leksem yang kita lafalkan atau yang kita dengar. Zgusta (1971: 38) berpendapat makna konotatif adalah makna semua komponen pada leksem ditambah beberapa nilai mendasar yang biasanya berfungsi designatif. Kridalaksana (1982: 91) berpendapat “aspek adalah sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca). Dengan kata lain makna konotatif merupakan makna leksikal + X. Misalnya, /berilah ia amplop agar urusanmu segera selesai/, leksem amplop memiliki makna konotatif yang lain jika kita mengatakan, /saya membeli amplop di warung/. Pada kalimat /berilah ia amplop agar urusanmu segera selesai/, leksem /amplop/ bermakna konotatif uang yang diisi di dalam amplop atau yang biasa disebut uang semir, uang sogok, uang pelicin, uang pelancar. Di sini kita memperoleh kenyataan bahwa makna leksem /amplop/ tidak sebagaimana adanya tetapi mengandung makna yang lain, yang kadang-kadang masih berhubungan dengan sifat, rasa benda atau peristiwa yang kita maksudkan. Dengan kata lain makna konotatif bergeser dari makna konseptual dari leksem yang kita bicarakan.
Dalam hubungan ini kita dapat membedakan makna konotatif dari makna konseptual. Perbedaan itu sekurang-kurangnya dapat dilihat dari tiga hal, yakni (i) makna konotatif tidak terbatas pada bahasa tetapi juga pada sistem komunikasi yang lain, seperti seni dan musik, (ii) makna konotatif tidak stabil sesuai dengan intensitas rasa yang kita miliki, dan (iii) makna konotatif tidak terbatas.
Leksem /menggarap/ pada kalimat /petani menggarap tanahnya/, adalah hal yang wajar. Demikian pula leksem /menggarap/ pada kalimat /anggota DPR sedang menggarap rancangan undang-undang hak cipta/ meskipun makna konseptual leksem /menggarap/ pada kedua kalimat ini berbeda, tetapi penggunaan leksem /menggarap/ masih tetap dalam keadaan yang wajar. Hal ini akan berbeda kalau kita mengatakan /pemuda brandal ditangkap ketika sedang menggarap seorang anak gadis/. Leksem /menggarap/ pada kalimat ini bermakna konotatif lain dari kedua kalimat yang baru kita sebutkan di atas.
Dengan demikian, makna konotatif akan lebih berhubungan dengan nilai rasa kita, apakah perasaan senang, jengkel, jijik dan sebagainya. Itu sebabnya sering kita mengatakan, leksem X mengandung makna konotatif yang lain dalam bahasa daerah. Misalnya orang Gorontalo akan tersnyum kalau mendengar ada orang berkata /uraian itu membosankan sebab bertele-tele/ sebab leksem /tele/ mengandung makna konseptual alat kelamin perempuan dalam bahasa Gorontalo.

Pateda, Mansoer. (1989). Semantik Leksikal. Flores: Nusa Indah.


Denotasi dan Konotasi (Alwasilah; 169-170)
Denotasi mengacu kepada makna leksis yang umum dipakai atau singkatnya makma yang biasa, objektif, belum dibayangi perasaan, nilai dan rasa tertentu. Dikatakan objektif sebab makna denotasi ini berlaku umum. Sebaliknya, makna konotasi bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Kalau makna denotatif  hampir bisa dimengerti banyak orang, makna konotatif ini hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya relatif lebih kecil.
Perhatikanlah kata-kata Chairil Anwar dibawah ini.
Penerimaan
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
(Chairil Anwar, Deru Campur Debu)

Puisi diatas begitu manis, padat di dalamnya tersembunyi nada-nada kegaiban, penuh pesona. Perhatikan pemilihan kata: aku masih tetap sendiri, bak kembang sari  sudah terbagi, dan sedang cermin aku enggan berbagi. Kita melihat setiap baris sajak diatas tidak bisa ditekuni maksudnya, kita selami kedalam maknanya tanpa melihat tautan baris-baris lain. Makna kata dan ungkapan adalah persoalan konteks.
http://mersiku.jw.lt/materi/bahasa_indonesia_3.


Makna Denotasi

Makna denotasi merupakan makna kata yang sesuai dengan makna yang sebenarnya atau sesuai dengan makna kamus. Makna denotasi lazim disebut 1) makna konseptual yaitu makna yang sesuai dengan hasil observasi (pengamatan) menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman yang berhubungan dengan informasi (data) faktual dan objektif. 2) makna sebenarnya, umpamanya, kata kursi yaitu tempat duduk yang berkaki empat (makna sebenarnya). 3) makna lugas yaitu makna apa adanya, lugu, polos, makna sebenarnya, bukan makna kias.
Contoh :
1.         Adik makan nasi. ( makan artinya memasukkan sesuatu ke dalam mulut )
2.         Harga kambing hitam itu sangat mahal. ( kambing hitam bermakna kambingg yang memiliki warna hitam )

2.         Makna konotasi

Makna konotasi merupakan makna kiasan atau makna yang timbul setelah disusun dalam kalimat.

Contoh :

1.         Dalam peristiwa itu, dia dijadikan kambing hitam. (kambing hitam bermakna orang yang dipersalahkan)
2.         Anak itu berangkat besar ketika ayahnya pergi ke Jepang. ( berangkat bermakna beranjak atau mulai menjadi )
3.         Bunga desa itu sudah menjadi karyawan bank.(Kata “bunga desa” bermakna sesuatu yang dianggap cantik)

Makna konotasi dibagi menjadi 2 yaitu :
A.        Konotasi positif merupakan kata yang memiliki makna yang dirasakan baik dan lebih sopan.
Contoh :
1.         Sebagai seorang istri harus pandai menyenangkan suami.
2.         Biaya pemakaman para korban bencana alam ditanggung pemerintah setempat.
3.         Para wanita tuna susila bekerja akibat tuntutan kebutuhan ekonomi.
4.         Tiga pahlawan reformasi telah gugur lima tahun yang lalu. ( Kata “gugur” bermakna mati dalam pertempuran )
B.        Konotasi negatif merupakan kata yang bermakna kasar atau tidak sopan.
Contoh :
1.         Selama meringkuk di penjara, Roy berubah menjadi pendiam. ( Kata penjara bermakna tempat mengurung badan )
2.         Masih ada segerombolan orang yang suka menebang demi keuntungan pribadi. (Kata “gerombolan” bermakna kawanan pengacau / perusuh.)
3.         Banyak gelandangan tidur di bawah jembatan.

Berikut adalah contoh-contoh kata yang bermakna denotasi dan konotasi
1) meluap
denotasi : Banjir yang terjadi kemarin disebabkan oleh air sungai yang meluap tak mampu
dikendalikan oleh tanggul yang ada disekitanya.
konotasi : Kemarahan Pak Budi makin hari tambah meluap karena masalah yang diperbantahkan itu
tidak pernah menemukan titik permasalahannya.
2) penuh
denotasi : Lokasi yang akan dijadikan sebagai tempat pusat hiburan itu telah terisi penuh oleh
pemukiman penduduk.
konotasi : Pekerjaan itu dilakukannya dengan penuh rasa tanggung jawab.
3) naik
denotasi : Pak Halim pergi ke Makassar dengan naik mobil pribadi.
konotasi : Naik turunnya harga barang sangat dipengaruhi oleh jumlah permintaan konsumen.
4) tumbuh
denotasi : Pohon mangga yang tumbuh di halaman rumah Pak Ilham memiliki buah yang besar- besar.
konotasi : Kondisi perekonomian Indonesia mulai tumbuh sejak beralihnya sistem pemerintahan ke
era reformasi.
5) atas
denotasi : Di atas pohon yang rindang itu ada terdapat beberapa sarang burung hantu.
konotasi : Irama yang muncul pada permukaan tembok itu ditimbulkan atas beberapa perpaduan
warna
6) kendali
denotasi : Nakhoda memberikan instruksi kepada para penumpang kapal agar waspada, sebab
kendali dalam kapal sedang mengalami gangguan.
konotasi : Peristiwa itu terjadi saat dirinya telah kehilangan kendali.(kontrol)
7) panas
denotasi : Permukaan kulit pada anak itu lecet akibat tersiram air panas.
konotasi : Suhu dalam ruangan itu semakin panas ketika peserta diskusi dalm ruangan itu saling
beradu argumen. (panas=ketegangan)
8) hancur
denotasi : Mainan anak pak lurah hancur terinjak mobil.
konotasi : Semua perkataannya kedengaran hancur akibat terbawa emosi .(hancur= tidak masuk
akal).
9) arus
denotasi : Adik terseret arus yang sangat deras saat menyeberang sebuah sungai di tepi rumahnya.
konotasi : Arus balik pada lebaran tahun depan diprediksikan akan lebih banyak dibandingkan tahun
kemarin. (arus=sistem)
10) hangus
denotasi : Bau hangus itu dihasilkan dari pembakaran sisa-sisa plastik dan kertas yang ada di tepi jalan
itu.
konotasi : Semua dana yang dianggarkan telah hangus akibat program kerja yang tidak tertata dengan
rapi. (hangus=ludes)















BAB III
SIMPULAN
Kesimpulan dari makalah ini bahwa pemahaman tergantung dari kondisi interpretasi serangkaian ujaran menurut konteksnya. Denotasi adalah batasan kamus atau definisi utama sesuatu kata, sebagai lawan daripada konotasi-konotasinya atau makna-makna yang ada kaitannya dengan itu. Sedangkan konotasi adalah kesan-kesan atau asosias-asosiasi, biasanya yang bersifat emosional yang ditimbulkan oleh sebuah kata samping batasan kamus atau definisi utamanya. Ragam-ragam konotasi konotasi tinggi, ramah, berbahaya, tidak pantas, tidak enak, kasar, keras, bentukan sekolah, kanak-kanak, hipokoristik, dan bentuk nonsens. Ada juga turun dan naiknya konotasi dibagi 2 konotasi yang naik dan turun.












DAFTAR PUSTAKA
            Tarigan 2009. Semantik. Bandung : Angkasa
           








No comments:

Post a Comment