Cerita Rakyat Bangka Belitung : Jembatan Emas untuk Putri
Bujang Katak, begitulah ia biasa dipanggil, karena ia memang
menyerupai katak. Kulitnya licin dan berwarna kehijauan, Iehernya pun pendek
seperti katak. Bujang Katak adalah anak tunggal wanita tua yang miskin. Dulu,
wanita itu rajin berdoa agar Tuhan mengaruniakan seorang anak padanya. Tanpa
sengaja, ia berkata bahwa meskipun anak yang diberikan menyerupai katak, ia
akan tetap mencintainya. Rupanya Tuhan mengabulkan doanya, dan lahirlah si
Bujang Katak.
Bujang Katak rajin membantu ibunya di ladang. Para penduduk
desa pun menyukai Bujang Katak karena sikapnya yang ramah dan suka membantu.
Akhir-akhir ini, Bujang Katak tampak murung. Ia sering duduk melamun. Ibunya
yang heran melihat perubahan sikapnya pun bertanya, "Apa yang kau
pikirkan, Nak? Seharian kau hanya duduk melamun."
Bujang Katak menghela napas, "Aku sekarang sudah dewasa
Bu, sudah saatnya aku menikah."
Ibunya tersenyum, "Ah, rupanya kau sedang jatuh cinta.
Katakan pada Ibu siapa wanita itu dan Ibu akan segera melamarnya."
"Putri Raja, Bu. Aku dengar Raja memiliki tujuh putri
yang cantik-cantik. Maukah Ibu melamar salah satu dari mereka untukku?"
Ibunya sangat terkejut, "Mana mungkin seorang putri
raja sudi menikah dengan anakku," pikirnya dalam hati. Namun karena sangat
menyayangi anaknya, ibu itu pun mengiyakan.
Esok harinya, si Ibu berangkat ke istana. Tak lupa ia
membawa sedikit buah tangan untuk Raja. Sesampainya di istana, Raja segera
menanyakan maksud kedatangannya.
"Ampun Baginda. Maafkan hamba jika lancang. Maksud
kedatangan hamba adalah untuk melamar salah satu putri Baginda untuk putra
hamba," kata Ibu dengan sedikit cemas.
Raja mengernyit. Dipandangnya ibu itu dari atas sampai ke
bawah.
"Wanita miskin ini rupanya salah tujuan. Mana mau
putri-putriku bersuamikan orang miskin?" pikirnya dalam hati. Meski
berpikir demikian, karena sang Raja merupakan Raja yang bijaksana, Raja tak mau
mengecilkan hati ibu Bujang Katak. Beliau lalu memanggil ketujuh putrinya untuk
menemui ibu tersebut.
"Putri-putriku, apakah ada dari kalian yang bersedia
menikah dengan putra wanita tua ini?" tanya Raja. Serempak putri-putri itu
tertawa mengejek. "Hai wanita tua, anakmu mimpi di siang bolong, ya?"
Mereka lalu masuk kembali ke istana dan tak menghiraukan ibu
Bujang Katak. Hanya putri bungsu raja yang tetap tinggal. Ia menghampiri ibu
Bujang Katak dan berkata, "Pulanglah. Katakan pada putramu untuk datang
sendiri melamarku."
"Bungsu, apakah kau benar-benar ingin menikah dengan
Bujang Katak? Ia hanya pemuda miskin dan rupanya seperti katak," kata Raja
panik. Lebih dari itu Putri bungsu merupakan putri yang paling cantik dan putri
yang paling baik hati diantara ketujuh putrinya. Sang Rajapun sebenarnya paling
sayang dengan Putri Bungsu karena selain cerdas, putri bungsu juga anak yang
bijaksana.
"Jika Ayahanda mengizinkan, aku bersedia menikah dengan
Bujang Katak. Aku mendengar bahwa Bujang Katak adalah pria yang baik. Bukankah
aku harus mencari suami yang baik?" jawab Putri Bungsu. Raja tak bisa
menjawab. Ibu Bujang Katak pun segera pulang untuk memberitahu kabar gembira
ini pada Bujang Katak.
Keesokan harinya, Bujang Katak pergi ke istana. "Hai
Bujang Katak, kau boleh memperistri putri bungsuku, tapi ada syaratnya,"
kata Raja saat Bujang Katak menghadap. Sang Raja sengaja akan memberi suatu
syarat yang sangat sulit sehingga tidak mungkin dapat terwujud. Hal ini
sebenarnya untuk menolak lamaran Bujang Katak secara halus.
"Apa pun syaratnya, hamba akan berusaha
memenuhinya," jawab Bujang Katak mantap.
"Aku ingin kau membangun jembatan emas di atas sungai
yang menghubungkan istana ini dengan desamu. Suatu saat jika aku ingin
mengunjungi putriku di desamu, aku tak perlu menyeberang sungai dengan perahu.
Cukup dengan melewati jembatan emas itu. Apakah kau mampu memenuhinya?"
tanya Raja.
"Siap Baginda. Hamba akan segera membangun jembatan
itu,” kata Bujang Katak dengan nada yakin dan mantap.
"Ingat Bujang Katak! Jembatan itu harus siap dalam
waktu satu minggu, Kalau tidak, jangan harap kau bisa menikahi putriku!"
kata Raja menambahkan syarat yand diajukan pada Bujang Katak.
Bujang Katak kembali ke rumahnya. Ia menceritakan permintaan
Raja kepada ibunga. "Tapi anakku... kita ini hanya orang miskin. Mana
mampu kita membeli emas untuk membangun jembatan itu?" Ucap Ibu Bujang
Katak memelas.
"Bu, dengan pertolongan Tuhan, apa pun bisa kita
lakukan. Aku akan memohon pada Tuhan untuk memberi jalan kepadaku," sahut
Bujang Katak mantap. Malam itu, Bujang Katak terus berdoa dan berdoa. Ia yakin
Tuhan akan menolongnya.
Pagi-pagi, seperti biasa Bujang Katak bangun dan bersiap
pergi ke ladang. Ketika ia mandi, keajaiban pun terjadi. Kulitnya yang tebal
dan licin terkelupas. Tiap kali ia mengguyurkan air ke tubuhnya, kulitnya
rontok. Perlahan-lahan, seluruh kulit tubuhnya terkelupas. Bujang Katak heran.
Ia menatap onggokan kulitnya yang terkelupas. Ia segera masuk rumah untuk
bercermin. Alangkah kagetnya ia, di hadapannya tampak sosok pemuda tampan
dengan kulit kecokelatan! Bukan lagi pemuda yang menyerupai katak. Tak percaya,
Bujang Katak terus meraba wajahnya. "Ibu... Ibu... cepat kemari...
lihatlah diriku, Bu!" teriak Bujang Katak. Ibunya tergopoh-gopoh
menghampiringa. "Ya Tuhan, sungguh besar cintaMu pada anakku ini,"
seru Ibu sambil memeluk Bujang Katak.
Bujang Katak kembali ke sumur untuk meneruskan mandinya.
Sekali lagi, keajaiban terjadi. Onggokan kulit yang tebal itu telah berubah
menjadi emas! Bujang Katak berteriak-teriak kegirangan, "Terima kasih
Tuhan, terima kasih... Kau sudah memberikan jalan keluar untukku."
Bujang Katak menunjukkan emas itu pada ibunya. "Bu,
sekarang aku sudah bisa membangun jembatan emas. Doakan aku, agar bisa
menyeIesaikannya tepat waktu. Bujang Katak mulai bekerja, siang dan malam tiada
henti.
Hari yang ditentukan telah tiba. Bujang Katak dan ibunya
menghadap Raja. Saat itu, Raja dan para putrinya sedang berkumpul. Mereka semua
heran melihat sosok pemuda yang datang menghadap Raja.
"Hai wanita tua, mana putramu yang seperti katak itu?
Siapa pemuda ini?" tanya Sang Raja kebingungan.
"Ampun Baginda, pemuda ini adalah Bujang Katak. Tuhan
telah mengubah wujudnya menjadi pemuda yang tampan," jawab ibu Bujang
Katak. Mareka saling berpandangan. Putri Bungsu pun tersenyum bahagia.
"Hei anak muda, meskipun kau sudah menjadi pemuda yang
tampan, kau tetap harus memenuhi syaratku. Apakah jembatan emas itu sudah
jadi?" tanya Sang Raja.
"Tentu saja Baginda. Mari hamba antar Baginda untuk
melihatnya," jawab Bujang Katak.
Pada pagi hari, jembatan emas itu sungguh indah. Warna
keemasan memantul dari setiap bagian jembatan. Raja senang melihat tekad dan
usaha Bujang Katak untuk menikahi putri bungsunga. "Rupanya pilihan Putri
Bungsu memang tepat. Pemuda ini mau bekerja keras demi mencapai
cita-citanya," pikir Raja. "Baiklah Bujang Katak. Mari kita kembali
ke istana dan membicarakan pesta pernikahanmu dengan Putri Bungsu," ajak Raja.
Bujang Katak pun mengangguk setuju. Ia mengulurkan tangannya pada Putri Bungsu.
Dengan malu-malu, Putri Bungsu mengambut uluran tangan calon suaminya.
Pesan moral dari Cerita Rakyat
Bangka Belitung : Bujang Katak untukmu adalah Jangan menilai orang dari
penampilan fisiknya saja. Usaha, kerja keras, dan doa akan menjadikan seseorang
sukses.
No comments:
Post a Comment