BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Fonologi
adalah bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan mengkaji runtunan
bunyi-bunyi bahasa. Secara etimologi terbentuk dari kata fon berarti bunyi, dan
logi yang berarti ilmu. Fonologi berbeda dengan fonetik. Fonetik mempelajari
bagaimana bunyi-bunyi fonem sebuah bahasa direalisasikan atau dilafazkan.
Fonetik juga mempelajari cara kerja organ tubuh manusia, terutama yang
berhubungan dengan penggunaan bahasa. Terdiri dari huruf vokal, diftong( vokal
yang ditulis rangkap ), kluster ( konsonan yang ditulis rangkap ).
Objek
studi fonologi dibedakan menjadi fonetik dan fonemik. Fonetik yaitu cabang
studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah
bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Jenis
fonetik berdasarkan sudut pandang bunyi bahasa yaitu fonetik organis, fonetik
akustis, fonetik auditoris. Sedangkan fonemik yaitu cabang studi fonologi yang
mempelajari bunyi bahasa denga memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai
pembeda makna bunyi-bunyi ujar merupakan unsur-unsur bahasa terkecil yang
merupakan bagian dari struktur kata dan yang sekaligus berfungsi untuk
membedakan makna.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam penulisan masalah mengenai fonologi bila kita tidak
menetukan patokan-patokan yang jelas mengenai hal-hal yang akan kita bahas
tentunya kita akan memperoleh kesulitan dalam mengembangkan makalah ini.
Mengingat adanya keterbatasan dalam kemampuan penyusun dan demi terarahnya
penyusunan makalah maka penyusun membatasi permasalahan pada hal-hal:
1.
Apakah
yang dimaksud denga fonologi ?
2.
Apakah
yang dimaksud dengan fonetik ?
3.
Apa
sajakah macam-macam fonologi ?
4.
Apakah
bedanya fonetik dan fonemik ?
5.
Apakah
jenis-jenis dari fonetik ?
1.3 Tujuan
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu
tugas dalam mata kuliah Analisis Kesulitan Membaca. Tujuan dari penulisan
makalah ini adalah :
1.
Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan daerah.
2. Untuk mengetahui dan memahami fonologi
3.
Untuk
memahami perbedaan fonologi, fonetik, dan fonemik
4.
Untuk
mengetahui manfaat unsure-unsur terjadinya bunyi
5.
Untuk referensi bagi rekan mahasiswa.
1.4
Manfaat
Manfaat dari penulisan
makalah ini adalah :
1.
Menambah ilmu pengetahuan
2.
Meningkatkan intelektualitas serta memperdalam
penghayatan keilmuan;
3.
Dari isi makalah ini kita bisa mengetahui lebih jauh tentang
fonologi, fonetik, dan fonemik
4.
Mengetahui dan memahami tentang bunyi bahasa dan
bukan bunyi bahasa.
5.
Mengetahui dengan lebih jelas bagaimana
bunyi-bunyi bahasa dihasilkan dan dituturkan serta mengenai alat-alat
artikulasi yang berperan dalam menghasilkan bunyi-bunyi bahasa.
BAB II
MEMAHAMI FONOLOGI DAN FONETIK SEBAGAI ILMU BUNYI BAHASA DAN
MACAM-MACAMNYA
2.1 FONOLOGI
2.1.1 Kajian Fonologi
Istilah
fonologi berasal dari bahasa Yunani
yaitu phone = ‘bunyi’, logos = ‘ilmu’. Secara harfiah,
fonologi adalah ilmu bunyi.
Fonologi
mengkaji bunyi bahasa secara umum dan fungsional. Menurut abdul chaer (2010:100), secara etimologi istilah
“fonologi” ini dibentuk dari kata “fon”
yang bermakna “bunyi” dan “logi” yang
berarti “ilmu”. Jadi, secara seder-hana dapat dikatakan bahwa fonologi
merupa-kan ilmu yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa pada umumnya. Menurut
Kridalaksana (1995: 57) Fonologi ialah bidang dalam linguistik yang menyelidiki
bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya.
Berdasarkan
beberapa sumber tersebut dapatlah disimpulkan bahwa fonologi ialah bidang
linguisik atau lmu bahasa yang menyelidiki, mempelajari, me- nganalisis, dan
membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap manusia
berserta fungsi.
2.1.2 Macam-Macam Fonologi
Fonetik
Fonetik
(vokal,konsonan) adalah yang mempelajari cara menghasilkan bunyi bahasa atau
bagaimana suatu bunyi bahasa diproduksi oleh alat ucap manusia bunyi yang
keluar dari mulut tanpa mendapat hambatan,yang menghambat hanya posisi
lidah,bentuk bibir.vokal (a,i,u,e,o).
Fonemik
Istilah fonem
dapat didefinisikan sebagai satuan bahasa terkecil yang bersifat fungsional,
artinya satuan fonem memiliki fungsi untuk membedakan makna. Fonem juga dapat
dibatasi sebagai unit bunyi yang bersifat distingtif atau unit bunyi yang signifikan.
Dalam hal ini perlu adanya
fonemisasi yang ditujukan untuk menemukan bunyi-bunyi yang berfungsi dalam
rangka pembedaan makna tersebut. Dengan demikian fonemisasi itu bertujuan untuk
(1) menentukan struktur fonemis sebuah bahasa, dan (2) membuat ortografi yang
praktis atau ejaan sebuah bahasa.
Untuk mengenal dan menentukan bunyi-bunyi bahasa yang bersifat
fungsional atau fonem, biasanya dilakukan melalui “ kontras pasangan minimal”.
Dalam hal ini pasangan minimal ialah pasangan bentuk-bentuk bahasa yang
terkecil dan bermakna dalam sebuah bahasa (biasanya berupa kata tunggal) yang
secara ideal sama, kecuali satu bunyi berbeda.
Sekurang-kurangnya ada empat premis untuk mengenali sebuah fonem, yakni
(1) bunyi bahasa dipengaruhi lingkungannya, (2) bunyi bahasa itu simetris, (3)
bunyi bahasa yang secara fonetis mirip, harus digolongkan ke dalam kelas fonem
yang berbeda, dan (4) bunyi bahasa yang bersifat komplementer harus dimasukkan
ke dalam kelas fonem yang sama. Dapat disimpulkan fonemik adalah
ilmu yang mempelajari fungsi bunyi bahasa sebagai pembeda makna kata.contoh
misal nya : (l),(a),(b),(a) dan
(r),(a),(b),(a).kedua kata itu sangat mirip,masing-masing terdiri dari buah
bunyi.yang pertama mempunyai bunyi (l),(a),(b),dan (a) ; dan yang ke dua
mempunyai bunyi (r),(a),(b),dan(a).jika kita bandingkan hanya pada bunyi
pertama yang membedakan nya yaitu (l) dan(r) dua buah fonem yang berbeda.
a. Realisasi Fonem
Realisasi fonem adalah pengungkapan yang sebenarnya dari ciri atau
satuan fonologis, yakni fonem menjadi
bunyi bahasa. Realisasi fonem erat kaitannya dengan variasi fonem. Variasi
fonem merupakan salah satu wujud pengungkapan dari realisasi fonem. Secara
segmental fonem bahasa Indonesia dibedakan atas vokal dan konsonan.
b. Variasi Fonem
Variasi fonem adalah wujud
pelbagai manifestasi bersyarat maupun tak bersyarat dari fonem. Ujud variasi
suatu fonem yang ditentukan oleh lingkungannya dalam distribusi yang
komplementer disebut varian alofonis atau alofon.
2.2 FONETIK
2.2.1 Jenis –Jenis
Fonetik
Fonetik
(vokal,konsonan) adalah yang mempelajari cara menghasilkan bunyi bahasa atau
bagaimana suatu bunyi bahasa diproduksi oleh alat ucap manusia bunyi yang
keluar dari mulut tanpa mendapat hambatan,yang menghambat hanya posisi
lidah,bentuk bibir.vokal (a,i,u,e,o).
Fonetik ada tiga
jenis yaitu :
1. Fonetik
artikulatoris
Fonetik
artikulatoris disebut juga fonetik organis atau fonetik fisiologis yang
mempelajari mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan
bunyi. Pembahasannya, antara lain meliputi masalah alat-alat ucap yang
digunakan dalam memproduksi bunyi bahasa itu; mekanisme arus udara yang
digunakan dalam memproduksi bunyu bahasa; bagaiamana bunyi bahasa itu dibuat;
mengenai klasifikasi bunyi bahasa yang dihasilkan serta apa criteria yang
digunakan mengenai silabel dan juga mengenai unsure-unsur atau ciri-ciri
suprasegmental, seperti tekanan, jeda, durasi, dan nada.
2. Fonetik akustik
Fonetik
akustik disebut ilmu yang mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa
fisis.bunyi-bunyi itu diselidiki dari frekuensi getarannya,amplitudonya.
Objeknya adalah bunyi bahasa ketika merambat diudara, antara lain membicarakan
: gelombang bunyi beserta frekuensi dan kecepatannya ketika merambat di udara,
spectrum, tekanan, dan intensitas bunyi. Juga mengenai skala decibel,
resonansi, akustik produksi bunyi, serta pengukuran akustik itu. Kajian ini
lebih mengarah kepada fisika daripada kajian linguistik, meskipun linguistik
memiliki kepentingan didalamnya.
3. Fonetik auditori
Fonetik
auditori disebut ilmu yang mempelajari mekanisme penerimaan bunyi bahasa oleh
telinga. Pembahasannya mengenai struktur dan fungsi alat dengar, yang disebut
telinga itu bekerja. Kajian ini lebih berkenaan dengan ilmu kedokteran.
Dari
ke tiga jenis fonetik tersebut yang paling berurusan dengan dunia linguistik
adalah fonetik artikulatoris, karena fonetik ini berkenaan dengan masalah
bagaimana bunyi-bunyi bahasa di hasilkan atau di ucapkan manusia.disini ada
gambar yang menjelaskan tentang ke tiga fonetik diatas.
Gambar
jenis-jenis fonetik :
2.2.2 Terjadinya Bunyi Dan Alat Ucap
Seperti
yang sudah disebutkan, bahwa fonetik (artikulatoris) mengkaji cara membentuk
bunyi-bunyi bahasa. Adapun sumber kakuatan utama untuk membentuk bunyi bahasa
yaitu udara yang keluar dari paru-paru. Udara tersebut dihisap ke dalam
paru-paru, kemudian dikeluarkan ketika bernafas. Ketika udara keluar dari
paru-paru melalui tenggorokan, ada yang mendapat hambatan ada yang tidak
mendapat hambatan.
Proses membentuk dan
mengucapkan bunyi berlangsung dalam suatu kontinuum. Menurut
analisis bunyi fungsional, arus bunyi yang kontinuum tersebut bisa
dikategorisasikan berdasarkan segmen tertentu. Walaupun denikian, ada pula
bunyi yang tidak dapat dikategorisasikan menjadi segmen-segmen tertentu yang disebut
bunyi suprasegmental. Oleh sebab itu, bunyi bahasa dapat dibagi menjadi :
(1) Bunyi
segmental dan
(2) Bunyi
suprasegmental.
Proses terbentuknya bunyi
bahasa secara garis besarnya terbagi atas 4 macam, yakni:
(1) Proses
keluarnya bunyi dari paru-paru,
(2) Proses
fonasi, yaitu lewatnya bunyi dalam tenggorokan,
(3) Proses
artikulasi yaitu proses terbentuknya bunyi oleh artikulator dan,
(4)
Proses oro-nasal, proses keluarnya bunyi melalui mulut atau hidung (ladefoged, 1973: 2-3).
Terjadinya
Bunyi:
1. Sumber energi utama terjadinya bunyi bunyi bahasa adalah
adanya udara dari paru-paru.
2. Udara dihirup ke dalam paru-paru kemudian dihembuskan
keluar bersama-sama waktu sedang bernapas.
3. Udara yang dihembuskan (atau dihirup untuk sebagaian
kecil bunyi bahasa) mendapat hambatan di berbagai tempat alat-alat bicara
dengan berbagai cara sehingga terjadi bunyi bahasa.
4. Tempat atau alat bicara yang dilewati diantaranya batang
tenggorok, pangkal tenggorok, kerongkongan, rongga mulut, rongga hidung.
5. Pada waktu udara mengalir keluar pita suara harus dalam keadaan terbuka.
6. Jika udara tidak mengalami hambatan pada alat bicara,
bunyi bahasa tidak akan terjadi.
7. Syarat terjadinya bunyi bahasa secara garis besar.
Alat ucap :
1. Paru-paru (lungs)
2. Batang tenggorok (trachea)
3. Pangkal tenggorok (larynx)
4. Pita-pita suara (vocal cords)
5. Krikoid (cricoid)
6. Tiroid (thyroid/lekum)
7. Aritenoid (arythenoids)
8. Dinding rongga kerongkongan (wall of pharynx)
9.
Epiglotis (epiglottis)
10. Akar lidah (root of the tongue)
11. Punggung lidah/ pangkal lidah (dorsum)
12. Tengah lidah (medium)
13. Daun lidah (lamina)
14. Ujung lidah (apex)
15. Anak tekak (uvula)
16. Langit-langit lunak (velum)
17. Langit-langit keras (palatum)
18. Gusi dalam/ ceruk gigi (alveolae)
19. Gigi atas (denta)
20. Gigi bawah (denta)
21. Bibir atas (labia)
22. Bibir bawah (labia)
23. Mulut
24. Rongga mulut (oral cavity)
25. Rongga hidung (nasal cavity)
a. Paru-paru
(Lungs)
Paru-paru berfungsi untuk
bernafas. Bernafas terdiri atas dua proses, yakni: (1) Proses menghisap udara
ke paru-paru, yang berupa oksigen (O2); dan (2) Proses mengeluarkan udara dari
paru-paru, yang berupa karbondioksida (CO2).
Selama hidup, manusia senantiasa
menghisap dan mengeluarkan uadara. Dengan demikian, paru-paru berfungsi untuk
mengeluarkan udara yang menjadi sumber terbentuk bunyi bahasa (Pike, 1974).
b. Pangkal
Tenggorokan (Larynx)
Pangkal tenggorokan adalah
rongga di ujung saluran pernapasan. Pangkal tenggorokan ini terdiri atas empat
komponen, yakni: (1) tulang rawan krikoid, (2) tulang rawan Aritenoid, (3)
sepasang pita suara, dan (4) tulang rawan tiroid (Malmberg, 1963:22).
Tenggorokan (larynx),
rongga anak tekak (pharinx), pita suara (vokal cords), dan anak
tekak (uvula). Tenggorokan berfungsi untuk mengeluarkan udara
dari paru-paru, rongga tersebut dapat membuka atau menutup. Jika rongga tenggorokan
membuka akan membentuk bunyi vokal, sebaliknya jika rongga tenggorokan
menutup akan membentuk bunyi konsonan. Tentu saja, fungsi pita suara
sangat penting dalam menghasilkan bunyi. Uraian mengenai fungsi pita suara
dijelaskan di bawah ini.
c. Rongga
Anak Tekak (Pharynx)
Rongga anak tekak ada di antara pangkal
tenggorokan dan rongga mulut dan rongga hidung. Gunanya sebagai saluran udara
yang akan bergetar bersama sama dengan pita suara. Adapun bunyi yang
dihasilkannya disebut bunyi faringal.
d. Pita
suara (Vokal Cords)
Bunyi
yang dihasilkan pita suara diatur oleh sistem otot aritenoid. Pita suara bagian
depan mengait pada tulang rawan tiroid. Adapun pita suara bagian belakang
mengait pada tulang rawan Aritenoid. Pita suara dapat membuka luas atau
menutup, fungsinya sebagai katup yang ngatur jalannya udara dari paru-paru
ketika melalui tenggorokan.
Akibat
membuka dan menutup pita suara, akan memunculkan rongga di antara pita suara
yang disebut glotis. Posisi glotis ada empat macam, yakni: membuka lebar,
membuka, menutup, dan menutup rapat. Proses bergetarnya pita suara tersebut
disebut proses fonasi. Proses teresebut dapat digambarkan sebagai
berikut.
Proses
membuka-Nutupnya Glotis
Posisi Glotis akan
mempengaruhi pola terbentuknya bunyi bahasa. Jika posisi glotis membuka akan
menghasilkan bunyi tak bersuara. Sebaliknya, jika posisi glotis menutup akan
menghasilkan bunyi bersuara. Di bawah ini dijelaskan posisi pita suara ketika
membentuk bunyi bahasa.
1. Posisi pita suara ketika bernafas
Ketika bernafas, pita suara membuka lebar
sehingga udara yang keluar dari paru-paru melalui tenggorokan tidak ada yang
menghalangi. Posisi pita suara seperti ini umumnya menghasilkan bunyi vokal,
bunyi [h p,t,s k].
2. Posisi pita suara bergetar
Jika pita suara bergetar, bagian atasnya
membuka sedikit sehingga membentuk bunyi [b,d,g,m,r]. Jika pita suara
tidak bergetar, akan menghasilkan bunyi [p,t,c,k,f,h,s].
3. Posisi pita suara ketika
ngengucapkan bunyi glotal
Ketika ngucapkan konsonan glotal, pita suara
menutup sehingga bunyi yang melalui tenggorokanberhenti sejenak, dan
menghasilkan bunyi hamzah [?].
4. Posisi pita suara ketika
berbisik
Posisi pita suara ketika berbisik, bagian
bawahnya menutup sedikit, udara yang keluarnya pun berkurang sehingga
bunyi–bunyi bahasa tersebut tidak jelas terdengarnya.
Macam-macam
Posisi Glotis
e. Langit-langit
Lunak (Velum) dan Anak tekak (Uvula)
Langit-langit lunak (velum)
beserta bagian ujungnya yaitu anak tekak (uvula) dalam menghasilkan
bunyi bahasa, dapat turun atau naik. Ketika bernafas normal, langit-langit
lunak dan anak tekak tersebut turun, sehingga udara dapat leluasa melalui
hidung, termasuk ketika membentuk bunyi nasal. Ketika menghasilkan bunyi
nonnasal, langit-langit lunak dan anak tekak naik menutup rongga hidung. Bunyi
bahasa yang dihasilkan oleh langit-langit lunak disebut bunyi velar.
Adapun bunyi yang dihasilkan dengan hambatan anak tekak disebut bunyi
uvular.
f. Langit-langit
Keras (Palatum)
Langit-langit
keras merupakan susunan tulang-belulang. Bagian depannya mulai dari langit-langit
cekung ka atas, kemudian diikuti oleh bagian belakang yang lunak. Menghasilkan
bunyi bahasa, langit-langit keras menjadi artikulator pasif. Adapun artikulator
aktifnya ialah ujung lidah dan tengah lidah. Bunyi yang dihasilkan
oleh langit-langit keras disebut bunyi palatal, sedangkan bunyi yang dihasilkan
oleh ujung lidah (apex) disebut bunyi apical. Bunyi yang dihasilkan oleh tengah
lidah (medium) disebut bunyi medial. Bunyi-bunyi tersebut biasa digabungkan
menjadi apikopalatal dan medio-palatal (Bloch & Trager, 1942:15).
g. Gusi
(Alveolum)
Gusi merupakan tempat tumbuhnya gigi.
Gusi dapat disebut daerah kaki gigi. Dalam membentuk bunyi bahasa, lidah
merupakan titik artikulasi, sedangkan articulator aktifnya ialah ujung lidah.
Bunyi yang dihasilkan oleh gusi disebut bunyi alveolar. Selain itu, gusi dapat
bersama-sama dengan daun lidah (lamina) membentuk bunyi bahasa, sehingga
menghasilkan bunyi laminal. Gabungan kedua bunyi tersebut disebut bunyi
lamino-alveolar.
h. Gigi
(Dentum)
Gigi
terbagi dua, yaitu gigi atas dan gigi bawah. Ketika membentuk bunyi bahasa,
gigi yang berperan penting yaitu gigi atas. Gigi atas biasanya bersama-sama
dengan bibir baeah atau ujung lidah. Bunyi bahasa yang dihasilkan oleh gigi
atas dan gigi bawah disebut bunyi dental, bunyi bahasa yang dihasilkan oleh
gigi atas dan bibir bawah disebut labio-dental. Adapun bunyi bahasa yang
terbentuk oleh gigi atas dan ujung lidah disebut bunyi apiko-dental.
i. Bibir
(labium)
Bibir dibagi menjadi dua bagian, yaitu
bibir atas dan bibir bawah. Ketika membentuk bunyi bahasa, bibir atas berfungsi
sebagai articulator pasif bersama-sama dengan bibir bawah yang menjadi
articulator aktif. Bunyi yang dihasilkan oleh dua bibir disebut bunyi bilabial.
2.2.3 Klasifikasi Bunyi
1)
Berdasarkan ada tidaknya rintangan terhadap arus udara dalam saluran
suara.
a)
Vokal adalah bunyi bahasa yang arus udaranya tidak mengalami rintangan.
Pada pembentukan vokal tidak ada artikulasi.
b)
Konsonan adalah bunyi bahasa yang dibentuk dengan menghambat arus udara
pada sebagian alat ucap. Dalam hal ini terjadi artikulasi.
c)
Bunyi semi-vokal adalah bunyi yang secara praktis termasuk konsonan,
tetapi karena pada waktu diartikulasikan belum membentuk konsonan murni.
2)
Berdasarkan jalan keluarnya arus udara.
a)
Bunyi nasal, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menutup
arus udara ke luar melalui rongga mulut
dan membuka jalan agar arus udara dapat keluar melalui rongga hidung.
b)
Bunyi oral, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan jalan
mengangkat ujung anak tekak mendekati langit-langit lunak untuk menutupi rongga
hidung, sehingga arus udara keluar melalui mulut.
3) Berdasarkan ada tidaknya
ketegangan arus udara saat bunyi di artikulasikan.
a)
Bunyi keras (fortis), yaitu bunyi bahasa yang pada waktu diartikulasikan
disertai ketegangan kuat arus.
b)
Bunyi lunak (lenis), yaitu bunyi yang pada waktu diartikulasikan tidak
disertai ketegangan kuat arus.
4)
Berdasarkan lamanya bunyi pada waktu diucapkan atau diartikulasikan
a)
Bunyi panjang
b)
Bunyi pendek
5)
Berdasarkan derajat kenyaringannya
Bunyi
dibedakan menjadi bunyi nyaring dan bunyi tak nyaring. Derajat kenyaringan
ditentukan oleh luas atau besarnya ruang resonansi pada waktu bunyi diucapkan.
Makin luas ruang resonansi saluran bicara waktu membentuk bunti, makin tinggi
derajat kenyaringannya. Begitu pula sebaliknya.
6)
Berdasarkan perwujudannya dalam suku kata
a)
Bunyi tunggal, yaitu bunyi yang berdiri sendiri dalam satu suku kata
(semua bunyi vokal atau monoftong dan konsonan).
b)
Bunyi rangkap, yaitu dua bunyi atau lebih yang terdapat dalam satu suku
kata. Bunyi rangkap terdiri dari
c)
Diftong (vokal rangkap) : [ai], [au] dan [oi].
d) Klaster (gugus konsonan) :
[pr], [kr], [tr] dan [bl].
7)
Berdasarkan arus udara
a)
Bunyi egresif, yaitu bunyi yang dibentuk dengan cara mengeluarkan arus udara dari dalam
paru-paru. Bunyi egresif dibedakan menjadi :
(1) Bunyi egresif pulmonik :
dibentuk dengan mengecilkan ruang paru-paru,otot perut dan rongga dada.
(2) Bunyi egresif glotalik :
terbentuk dengan cara merapatkan pita suara sehingga glotis dalam keadaan
tertutup.
b)
Bunyi ingresif, yaitu bunyi yang dibentuk dengan cara menghisap udara ke
dalam paru-paru.
(1) Ingresif glotalik :
pembentukannya sama dengan egresif glotalik tetapi berbeda pada arus udara.
(2) Ingresif velarik : dibentuk
dengan menaikkan pangkal lidah ditempatkan pada langit-langit lunak.
Kebanyakan bunyi bahasa Indonesia
merupakan bunyi egresif.
a. Pembentukan Vokal, Konsonan, Diftong, dan
Kluster
1)
Pembentukan Vokal
Vokal
dibedakan berdasarkan tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak,
bentuk bibir, dan strikturnya. Berikut ini jenis-jenis vokal berdasarkan cara
pembentukannya, yakni:
a)
Berdasarkan
bentuk bibir : vokal bulat, vokal netral, dan vokal tak bulat;
b)
Berdasarkan
tinggi rendahnya lidah : vokal tinggi, vokal madya (sedang), dan vokal rendah;
c)
Berdasarkan
bagian lidah yang bergerak : vokal depan, vokal tengah, dan vokal belakang;
d) Berdasarkan strikturnya : vokal tertutup,
vokal semi-tertutup, vokal semi-terbuka, dan vokal terbuka.
2)
Pembentukan Konsonan
Pembentukan konsonan didasarkan pada empat faktor, yakni daerah
srtikulasi, cara artikulasi, keadaan pita suara, dan jalan keluarnya udara.
Berikut ini klasifikasi konsonan tersebut:
a)
Berdasarkan daerah artikulasi : konsonan bilabial, labio dental,
apikodental, apikoalveolar, palatal, velar, glotal, dan laringal;
b)
Berdasarkan cara artikulasi : konsonan hambat, frikatif, getar, lateral,
nasal, dan semi-vokal;
c)
Berdasarkan keadaan pita suara : konsonan bersuara dan konsonan tak
bersuara;
d) Berdasarkan jalan keluarnya udara
: konsonan oral dan konsonan nasal.
3)
Pembentukan Diftong
Diftong adalah dua buah vokal yang berdiri
bersama dan pada saat diucapkan berubah kualitasnya. Perbedaan vokal dengan
diftong adalah terletak pada cara hembusan nafasnya.
Diftong dalam
bahasa indonesia adalah sebagai berikut:
a)
Diftong /au/, pengucapannya [aw]. Contohnya :
[harimaw] /harimau/
[kerbaw] /kerbau/
b)
Diftong /ai/, pengucapannya [ay]. Contohnya :
[santay] /santai/
[sungay] /sungai/
c)
Diftong /oi/, pengucapannya [oy]. Contohnya :
[amboy] /amboi/
[asoy] /asoi/
4)
Pembentukan Kluster
Gugus atau kluster adalah deretan konsonan
yang terdapat bersama pada satu suku kata.
a)
Gugus konsonan pertama : /p/,/b/,/t/,/k/,/g/,/s/ dan /d/.
b)
Gugus konsonan kedua : /l/,/r/ dan /w/.
c)
Gugus konsonan ketiga : /s/,/m/,/n/ dan /k/.
d) Gugus konsonan keduanya
adalah konsonan lateral /l/, misalnya :
(1) /pl/ [pleno] /pleno/
(2) /bl/ [blaƞko] /blangko/
(3) dan begitu seterusnya
hingga konsonan kedua /r/ dan /w/.
e)
Jika tiga konsonan berderet, maka konsonan pertama selalu /s/, yang
kedua /t/,/p/ dan /k/ dan yang ketiga adalah /r/ atau /l/. Contohnya :
(1)
/spr/ [sprey] /sprei
(2)
/skr/ [skripsi] /skripsi/
(3)
/skl/ [sklerosis] /sklerosis/
2.2.4 Unsur Suprasegmental
Sudah disebutkan di muka bahwa
arus ujaran merupakan suatu runtunan bunyi yang sambung-bersambung
terus-menerus diselangseling dengan jeda singkat atau jeda agak singkat,
disertai dengan keras lembut bunyi,
tinggi rendah bunyi, panjang pendek bunyi, dan sebagainya. Dalam arus ujaran
itu ada bunyi yang dapat disegmentasikan, sehingga disebut bunyi segment tetapi
yang berkenaan dengan keras lembut, panjang pendek, dan jeda bunyi tidak dapat
disegmentasikan. Dalam studi mengenai bunyi atau unsur suprasegmental itu
biasanya dibedakan pula atas, seperti yang dibicarakan dibawah ini.
a.
Nada dan Intonasi
Nada berkenaan dengan tinggi rendahnya suatu bunyi. Bila suatu bunyi
segmental diartikulasikan dengan frekuensi getaran yang tinggi, bunyi tersebut
akan terdengar bernada tinggi. Sebaliknya, jika diartikulasikan dengan
frekuensi yang rendah, bunyi tersebut akan terdengar benada rendah. Di dalam
bahasa Indonesia, nada tidak bersifat fonemis tidak pula bersifat morfemis.
Akan tetapi, ada bahasa-bahasa yang memang melibatkan nada yang bersifat
seperti itu.
Dalam
bahasa-bahasa yang bernada, nada bisa bersifat morfemis. Artinya, perbedaan
nada dapat membedakan makna. Bahasa-bahasa tonal atau bahasa bernada misalnya
bahasa Vietnam, Thailand, dan Mandarin.
b. Durasi
Durasi berkenaan dengan panjang atau pendeknya pembunyian suatu bunyi
segmental. Bahasa yang melibatkan durasi sebagai pembeda makna (durasi berciri
distingtif) misalnya bahasa Jepang dan Arab.
c. Jeda dan Tekanan
Jeda berkenaan dengan hentian
bunyi dalam arus ujar (Chaer, 2003:122). Chaer menyebut jeda juga
sebagai persendian karena memang pada jeda itulah terjadinya persambungan
antara segmen yang satu dengan segmen yang lain (misalnya segmen suku kata).
Jeda dapat bersifat penuh dapat pula bersifat sementara.
Sendi
dalam atau internal juncture adalah sendi yang menunjukkan
batas antara satu silabe dengan selabe yang lain. Ketika dilambangkan secara
ortografis, sendi dalam dilambangkan dengan tanda “+”. Misalnya lari terdiri
dari la + ri.
Sendi
luar menunjukkan batas yang lebih luas daripada suku kata. Pembedaannya antara
lain:
1.
Jeda antarkata dalam frasa
diberi tanda garis miring tunggal ( / );
2.
Jeda antarfrasa dalam
klausa diberi tanda garis miring ganda ( // );
3.
Jeda antarkalimat dalam
wacana diberi tanda “#”.
Tekanan
adalah pengerasan atau penguatan artikulasi terhadap salah satu bunyi bahasa.
Pemberian tekanan terhadap bunyi bahasa tertentu di dalam bahasa Indonesia
tidak bersifat distingtif. Akan tetapi, penekanan kata dalam tataran kalimat
dapat mengakibatkan perbedaan makna tertentu. Misalnya ketika mengujarkan kata
“Nak”. Jika kata tersebut diujarkan tanpa tekanan, ungkapan tersebut bisa
mengungkapkan sapaan atau panggilan kepada anak. Akan tetapi, jika kata tersebut
diungkapkan dengan tekanan yang lebih keras, ungkapan tersebut dapat
mengungkapkan teguran atau bahkan hardikan pada si anak yang dipanggil/disapa.
d. Silabe atau Suku Kata
“Silaba atau suku kata adalah
satuan ritmis terkecil dalam suatu arus ujaran atau runtunan bunyi ujaran”
(Chaer, 2003:123). Satu silabel biasanya meliputi satu vokoid dan satu
kontoid atau lebih.
Kontoid
yang posisinya mengawali silabe disebut onset sedangkan
kontoid yang mengakhiri silabe disebut koda. Di antara onset dan
koda tersebut, terdapat sebuah inti silabe yang disebut sebagai nukleus.
Inti silabe atau nukleus adalah bagian silabe yang memiliki
puncak kenyaringan atau sonoritas yang paling tinggi.
Kenyaringan
atau sonoritas yang tertinggi itu biasanya terletak pada sebuah vokoid.
Kenyaringan atau sonoritas yang menjadi puncak silabe itu terjadi karena adanya
ruang resonansi berupa rongga mulut, rongga hidung, atau rongga-rongga lain di
kepala dan dada. Bunyi vokoid menjadi bunyi yang paling nyaring dalam satu silabe
karena bunyi vokoid menggunakan ruang resonansi tersebut secara maksimal.
Berpijak
pada teori tersebut, dapatlah dirumuskan bahwa struktur silabe dalam bahasa
Indonesia secara umum adalah:
O
N K
Keterangan:
O=onset
N=nukleus
K=koda
Meskipun bunyi vokoid memang hampir selalu
menjadi puncak kenyaringan dalam suatu silabe, tidak tertutup kemungkinan bahwa
kontoid pun, baik bersuara maupun tidak, dapat menjadi puncak silabe. Dengan
demikian, pada kasus tersebut, kontoid menjadi inti/nukleus silabe.
Untuk contoh kasus,
Chaer (2003:124) memberikan contoh kata nggak [ŋ'gak] dalam
dialek Jakarta. Kata tersebut terdiri dari empat bunyi, [ŋ], [g], [a], dan [k].
Kata tersebut dari dua silabe, [ŋ] dan [gak]. Kenyaringan pada silabe pertama
terletak pada satu-satunya bunyi pada silabe tersebut, yaitu kontoid [ŋ].
Penentuan batas silabe
sebuah kata kadangkala sukar karena penentuan batas tersebut bukan sekadar
problematika fonetik tetapi juga soal fonemik morfologi, dan ortografi. Sebagai
contoh, ambillah kata makan. Kata tersebut dapat dipecah menjadi
[ma] dan [kan], tetapi kata makanan yang dibangun oleh bentuk
dasar makan [ma] + [kan] dan sufiks -an dipecah menjadi [ma],
[ka], dan [nan]. Pada contoh kasus tersebut, koda pada silabe [kan] pada
kata makan berpindah tempat menjadi onset pada silabe [nan]
pada kata makananpadahal secara ortografi, dan menurut ketentuan
ejaan bahasa Indonesia, silabenya adalah [ma], [kan], dan [an]–dalam
pemenggalan suku kata, bentuk dasar harus utuh dan dipisahkan dari konstituen
morfem terikat.
Mengenai kontoid tak
bersuara yang menjadi puncak silabis, Verhaar (2004:60) memberi contoh
kata sepakat [səpakàt]. Sejatinya, kata tersebut terdiri dari
tiga silabe, [sə], [pa], dan [kàt]. Akan tetapi, kata sepakat,
dalam tuturan sehari-hari, cenderung diujarkan dengan menghilangkan bunyi [ə]
pada silabe pertama menjadi [spakàt]. Dengan begitu, tinggallah [s] sebagai
satu-satunya anggota suku kata pertama.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Fonologi adalah cabang ilmu bahasa
(linguistik) yang mengkaji bunyi-bunyi bahasa, proses terbentuknya dan
perubahannya. Fonologi mengkaji bunyi bahasa secara umum dan fungsional.
Kajian fonetik terbagi atas klasifikasi bunyi
yang kebanyakan bunyi bahasa Indonesia merupakan bunyi egresif. Dan yang kedua
pembentukan vokal, konsonan, diftong, dan kluster.
Dalam hal
kajian fonetik, perlu adanya fonemisasi yang ditujukan untuk menemukan
bunyi-bunyi yang berfungsi dalam rangka pembedaan makna tersebut. Dengan
demikian fonemisasi itu bertujuan untuk (1) menentukan struktur fonemis sebuah
bahasa, dan (2) membuat ortografi yang praktis atau ejaan sebuah bahasa.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Alwi, dkk.2003.Tata Bahasa Baku bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Husen, Akhlan, dan Yayat Sudaryat. 1996. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta:
Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Misdan, Undang.1980.Bahasa Indonesia Pelajaran Bahasa II. Jakarta: Depatemen Pendidikan
dan Kebudayaan
Muchlisoh, dkk. 1992. Pendidikan Bahasa Indonesia 3. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Resmini, Novi. 2006. Kebahasaan (Fonologi, Morfologi, dan Semantik). Bandung: UPI PRESS.
Susandi. 2009. Seputar Bahasa dan Fonologi. [Online]. Tersedia:
http://susandi.wordpress.com/. 24 September 2010.
Chaer, Abdul.2012. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
No comments:
Post a Comment