Cerita Asal Mula Nama Kampung Belantu / Keramat Pinang Gading
Tak jauh dari
Gunung Beluru, Kecamatan Membalong, ada sebuah keleka’ dikenal dengan Keleka’ Nanga’.
Disinilah terletak kuburan yang dikenal dengan Keramat Pinang Gading, tokoh
utama cerita ini. Di antara rumah-rumah yang ada di Keleka’ Nanga’ ini,
terdapatlah sebuah belandongan (rumah beratapkan daun nanga’ yang disirat,
berlantaikan kayu berlapiskan tuntong –kulit kayu terunjam, red.)
Di rumah itu tinggal Pak Inda bersama istrinya Bu’ Tumina. Sepasang suami istri
yang hidup rukun dan damai ini belum dikaruniai seorang anak. Kendati demikian
ketiadaan anak itu tak mengurangi rasa sayang antara keduanya. Kemana pun
mereka pergi selalu berdua. Penderitaan salah satu adalah penderitaan keduanya.
Begitu pula kesenangan. Ibarat burung tiong, kemana jantan terbang disitulah
betina ikut terbang. Sehari-hari hidup mereka bersumber dari usaha bertanam padi
(ume). Tiap tahun pada bulan nyiur, mereka menugal (menanam padi ladang red.), jagung dan palawija lainnya. Pak Inda termasuk rajin
berusaha di laut, untuk menangkap ikan dengan membuat dan memasang sero. Suatu
pagi, saat sedang musim mengetam (menuai) padi, Pak Inda berpamitan pada
istrinya, untuk menidau (menengok sero, red.)
kalau-kalau mengena ikan banyak.
Ia berpesan kepada
istrinya, “Biar aku saja yang pergi, kau tinggal di rumah menjemur padi.”
Ketika Pak Inda tiba di tepi laut, air laut yang sedang berangsur surut. Saat
berjalan menuju seronya, kaki Pak Inda tersandung sepotong bambu yang hanyut
bersama sampah laut. Bambu itu ia ambil lalu dilemparkannya ke tengah laut agar
hanyut ke tempat lain. Ketika ia tiba dekat seronya, ia kembali tersandung
sepotong bambu. Lalu ia pun mengambil bambu tersebut. Setelah diamati, ternyata
itu bambu yang tadi juga. Karena merasa tak butuh bambu Pak Inda pun
mencampakkan bambu itu ke belakang sero, agar ikut terbawa arus hanyut ke
tempat lain. Selesai dengan urusan bambu tadi, Pak Inda langsung sibuk dengan
kegiatannya, menangguk ikan di dalam sero. Rupanya hari itu seronya banyak
mengena. Setelah dimasukkan ambong, ikan-ikan tadi dicucuki-nya dengan rotan.
Sambil menggandar
ikan-ikan hasil seronya, sebagian diambin (dipanggul), sebagian ditentengnya,
ia mengarungi air laut yang telah surut dan berjalan menuju pantai. Di tengah
perjalanannya menuju pantai, ketiga kali kakinya terkait sebatang bambu, yang
setelah diamati ternyata bambu yang sudah dua kali dibuangnya tadi. Karena
sudah tiga kali tersandung bambu yang sama, terlintas dalam fikirannya … aneh
sekali kejadian ini. Air laut telah surut, lazimnya benda itu hanyut terbawa
arus. Tetapi kenyataannya, bambu itu hanyut melawan arus. Ia pun berfikir,
pasti bambu ini bukan sembarang bambu, ada ada sesuatu yang terkait dengan
bambu tersebut. Akhirnya, bambu itu pun ia ambil dan digunakannya untuk memikul
ikan-ikan perolehannya. Ketika makan siang, perihal bambu aneh yang kemudian ia
jadikan pikulan ikan tadi pagi diceritakan Pak Inda pada istrinya. Oleh
istrinya bambu itu diletakkannya di halaman depan rumahnya kalau-kalau
diperlukan untuk menindih tikar jemuran padinya agar tidak tergulung oleh
tiupan angin.
Selang beberapa
hari setelah kejadian itu, tak ada peristiwa apa-apa dengan bambu tersebut.
Namun, pada suatu hari Jumat, kira-kira matahari mulai tergelincir pertanda
waktu sholat Dzuhur tiba, ketika pak Inda sedang tidur-tiduran berbantal
sebang, secara tiba-tiba terdengar suara letusan sangat keras diikuti suara
tangisan bayi. Suara itu datang dari tempat ia menjemur padi. Setelah dilihat
ternyata, suara ledakan keras tadi berasal dari bambu yang dibawanya dari laut.
Anehnya, dari pecahan bambu itu keluar seorang bayi. Dari muka sang jabang bayi
terpancar cahaya yang menyilaukan mata. Melihat bayi tersebut, Bu Tumina, istri
Pak Inda, segera menggendongnya. Setelah itu ia segera memandikan, menyelimuti
dengan kain bersih dan meninabobokkannya. Ringkas cerita bayi itu dipelihara
dan menjadi anak pasangan bahagia yang sudah lama mengidamkan anak ini. Bayi
itu sendiri kemudian diberi nama Puteri Pinang Gading. Setelah usianya beranjak
besar, kelihatanlah bahwa Pinang Gading memiliki keistimewaan khusus, yaitu
kesenangannya akan panah sehingga tak henti-hentinya ia selalu minta dibuatkan
anak panah dari bambu. Akhirnya ia pun menjadi seorang anak yang mahir sekali
menggunakan panahnya.Setelah berusia sekitar 15 tahun ia malah menjadi seorang
pemanah yang tiada tandingan. Bidikannya tak pernah meleset dan setiap ia pergi
berburu selalu membawa hasil memuaskan sekali bagi Pak Inda dan Bu’ Tumina.
Perangainya
sehari-hari pun sangat menyenangkan, baik terhadap kedua orang tuanya maupun
kerabat dan tetangganya di Keleka Nanga’. Malah sejak Pinang Gading ada,
kehidupan suami istri tersebut sama sekali berubah. Hasil tangkapan ikan dari
sero-nya selalu melimpah ruah, setiap bertanam padi hasilnya selalu memuaskan.
Pendeknya sejak pasangan ini memelihara Pinang Gading kehidupan mereka berubah
makmur, hingga bertambah sayanglah keduanya kepada Pidang Gading. KONON, tak
jauh dari Keleka’ Nanga’ terdapat Keleka’
Remban. Keleka’ ini
setiap tahun selalu ditimpa musibah yang ditimbulkan makluk menyerupai seekor
burung raksasa. Burung raksasa yang kabarnya hidup di Pegunungan Bita, di
sebelah Timur Danau Ranau, itu selalu memangsa penduduk Keleka’ Remban setiap
habis panen. Hingga dari tahun ke tahun penduduk keleka’ itu menyusut. Baik
akibat dimangsa burung raksana itu maupun karena banyak yang pindah dari
keleka’ tersebut. Umumnya, selain pindah ke keleka’ sebelahnya, untuk
menghindarkan burung raksasa tadi, sebagian penduduk memilih tinggal di gua-gua
di celah-celah gunung di daerah itu. Sementara bagi penduduk yang masih memilih
tinggal sebagian besar menggunakan remban, yaitu kayu-kayuan yang disusun dan
dijalin dengan rotan sega’ atau berebat. Mereka menamakan burung yang sering
menyerang itu Burung Gerude, yang konon kabarnya berkepala tujuh.
Akan halnya musibah
yang menimpa penduduk Keleka’ Remban itu tersiar ke keleka’ tetangga dan
membuat mereka prihatin dan was-was, jangan-jangan suatu hari nanti mereka yang
akan dapat giliran diserang. Ketika musibah itu terjadi usia Pinang Gading
sudah menginjak 21 tahun dan kemahiran memanahnya semakin hebat. Ia pun sudah
mendengar akan keganasan burung raksasa tersebut. Karena tak tahan diteror,
seluruh tetua keleka’ bermusyawarah untuk membinasakan burung tersebut dengan
jalan memanahnya. Satu-satunya pemanah yang paling mahir saat itu siapa lagi
kalau bukan Pinang Gading. Sebagai anak yang berperangai baik Pinang Gading
tentu saja tersentuh hatinya dan tergugah serta bersedia menjalankan tugas
sebagai pemanah Burung Gerude tersebut. Untuk menunaikan tugasnya, Pinang
Gading pun segera membuat anak panah khusus untuk mematikan burung raksasa
tersebut. Ia pun merendam anak panahnya dengan berbagai jenis racun. Setelah
persiapan usai dilakukan, pada suatu hari burung yang ditakuti itu datang ke
Keleka’ Remban untuk mengganggu penduduk. Melihat kedatangan burung pembinasa
tersebut, Pinaang Gading yang sebelumnya telah diungsikan di stu tempat
strategis, mulai mempersiapkan busur panahnya dengan anak panah beracun siap
ditembakkan. Akhirnya, ketika si burung raksasa itu mematuk orang tua yang
memang sengaja diumpankan, saat itu juga Pinang Gading melepaskan tali busur
panahnya.
Seketika anak panah
beracun meluncur deras menuju sasarannya, tepat di leher si burung buas itu.
Karena anak panah yang digunakan Pinang Gading telah direndam anake macam
racun, tak ayal burung itu pun langsung mati. Burung itu jatuh bergemuruh di
atas tanah, menggelepar sesaat dan sekejap kemudian mati. Dari masing-masing
dari tujuh kepala burung itu kemudian keluar air tujuh warna. Lalu akan halnya
anak panah Pinang Gading, saking deras dan kuatnya ia menarik busur, setelah
menembus leher burung raksasa terus melesat ke atas dan jatuh kembali menancap
di tanah. Menurut cerita yang berkembang turun temurun, anak panah yang
menancap di tanah tadi tumbuh subur menjadi sebatang pohon bambu. Namun, setiap
ada penduduk yang menebang pohon bambu itu akan menemui ajalnya, sehingga
lama-kelamaan tak ada lagi penduduk yang berani menebangnya. Rupa-rupanya racun
yang digunakan Pinang Gading begitu kuatnya, hingga terus melekat pada anak
panahnya. Bahkan hingga anak panahnya tumbuh kembali menjadi pohon bambu yang
subur. Karena itulah kemudian penduduk setempat menyebut pohon bambu itu
sebagai buluh hantu. (Buluh adalah bahasa lokal untuk bambu, red.)
Lama kelamaan penyebutannya berubah menjadi BELANTU, hingga kemudian daerah
tersebut juga dinamai daerah Belantu. Akan halnya Pinang Gading, setelah
berhasil memusnahkan burung raksasa tersebut, namanya kian termashur di seluruh
keleka’ di daearah Belantu. Namun, sebagai manusia biasa, setelah usianya tua,
meninggal di tempatnya ‘lahir’ di Keleka’ Nanga’. Makamnya yang kini terdapat
di kampung kecil di kaki Gunung Beluru, Membalong, itu hingga kini dikeramatkan
penduduk setempat.