Monday, July 3, 2023

Cerita Rakyat dari Bangka Belitung : Asal Mula Nama Kampung Belantu / Keramat Pinang Gading

 

Cerita Asal Mula Nama Kampung Belantu / Keramat Pinang Gading

Tak  jauh dari Gunung Beluru, Kecamatan Membalong, ada sebuah keleka’ dikenal dengan Keleka’ Nanga’. Disinilah terletak kuburan yang dikenal dengan Keramat Pinang Gading, tokoh utama cerita ini. Di antara rumah-rumah yang ada di Keleka’ Nanga’ ini, terdapatlah sebuah belandongan (rumah beratapkan daun nanga’ yang disirat, berlantaikan kayu berlapiskan tuntong –kulit kayu terunjam, red.) Di rumah itu tinggal Pak Inda bersama istrinya Bu’ Tumina. Sepasang suami istri yang hidup rukun dan damai ini belum dikaruniai seorang anak. Kendati demikian ketiadaan anak itu tak mengurangi rasa sayang antara keduanya. Kemana pun mereka pergi selalu berdua. Penderitaan salah satu adalah penderitaan keduanya. Begitu pula kesenangan. Ibarat burung tiong, kemana jantan terbang disitulah betina ikut terbang. Sehari-hari hidup mereka bersumber dari usaha bertanam padi (ume). Tiap tahun pada bulan nyiur, mereka menugal (menanam padi ladang red.), jagung dan palawija lainnya. Pak Inda termasuk rajin berusaha di laut, untuk menangkap ikan dengan membuat dan memasang sero. Suatu pagi, saat sedang musim mengetam (menuai) padi, Pak Inda berpamitan pada istrinya, untuk menidau (menengok serored.) kalau-kalau mengena ikan banyak.

Ia berpesan kepada istrinya, “Biar aku saja yang pergi, kau tinggal di rumah menjemur padi.” Ketika Pak Inda tiba di tepi laut, air laut yang sedang berangsur surut. Saat berjalan menuju seronya, kaki Pak Inda tersandung sepotong bambu yang hanyut bersama sampah laut. Bambu itu ia ambil lalu dilemparkannya ke tengah laut agar hanyut ke tempat lain. Ketika ia tiba dekat seronya, ia kembali tersandung sepotong bambu. Lalu ia pun mengambil bambu tersebut. Setelah diamati, ternyata itu bambu yang tadi juga. Karena merasa tak butuh bambu Pak Inda pun mencampakkan bambu itu ke belakang sero, agar ikut terbawa arus hanyut ke tempat lain. Selesai dengan urusan bambu tadi, Pak Inda langsung sibuk dengan kegiatannya, menangguk ikan di dalam sero. Rupanya hari itu seronya banyak mengena. Setelah dimasukkan ambong, ikan-ikan tadi dicucuki-nya dengan rotan.

Sambil menggandar ikan-ikan hasil seronya, sebagian diambin (dipanggul), sebagian ditentengnya, ia mengarungi air laut yang telah surut dan berjalan menuju pantai. Di tengah perjalanannya menuju pantai, ketiga kali kakinya terkait sebatang bambu, yang setelah diamati ternyata bambu yang sudah dua kali dibuangnya tadi. Karena sudah tiga kali tersandung bambu yang sama, terlintas dalam fikirannya … aneh sekali kejadian ini. Air laut telah surut, lazimnya benda itu hanyut terbawa arus. Tetapi kenyataannya, bambu itu hanyut melawan arus. Ia pun berfikir, pasti bambu ini bukan sembarang bambu, ada ada sesuatu yang terkait dengan bambu tersebut. Akhirnya, bambu itu pun ia ambil dan digunakannya untuk memikul ikan-ikan perolehannya. Ketika makan siang, perihal bambu aneh yang kemudian ia jadikan pikulan ikan tadi pagi diceritakan Pak Inda pada istrinya. Oleh istrinya bambu itu diletakkannya di halaman depan rumahnya kalau-kalau diperlukan untuk menindih tikar jemuran padinya agar tidak tergulung oleh tiupan angin.

Selang beberapa hari setelah kejadian itu, tak ada peristiwa apa-apa dengan bambu tersebut. Namun, pada suatu hari Jumat, kira-kira matahari mulai tergelincir pertanda waktu sholat Dzuhur tiba, ketika pak Inda sedang tidur-tiduran berbantal sebang, secara tiba-tiba terdengar suara letusan sangat keras diikuti suara tangisan bayi. Suara itu datang dari tempat ia menjemur padi. Setelah dilihat ternyata, suara ledakan keras tadi berasal dari bambu yang dibawanya dari laut. Anehnya, dari pecahan bambu itu keluar seorang bayi. Dari muka sang jabang bayi terpancar cahaya yang menyilaukan mata. Melihat bayi tersebut, Bu Tumina, istri Pak Inda, segera menggendongnya. Setelah itu ia segera memandikan, menyelimuti dengan kain bersih dan meninabobokkannya. Ringkas cerita bayi itu dipelihara dan menjadi anak pasangan bahagia yang sudah lama mengidamkan anak ini. Bayi itu sendiri kemudian diberi nama Puteri Pinang Gading. Setelah usianya beranjak besar, kelihatanlah bahwa Pinang Gading memiliki keistimewaan khusus, yaitu kesenangannya akan panah sehingga tak henti-hentinya ia selalu minta dibuatkan anak panah dari bambu. Akhirnya ia pun menjadi seorang anak yang mahir sekali menggunakan panahnya.Setelah berusia sekitar 15 tahun ia malah menjadi seorang pemanah yang tiada tandingan. Bidikannya tak pernah meleset dan setiap ia pergi berburu selalu membawa hasil memuaskan sekali bagi Pak Inda dan Bu’ Tumina.

Perangainya sehari-hari pun sangat menyenangkan, baik terhadap kedua orang tuanya maupun kerabat dan tetangganya di Keleka Nanga’. Malah sejak Pinang Gading ada, kehidupan suami istri tersebut sama sekali berubah. Hasil tangkapan ikan dari sero-nya selalu melimpah ruah, setiap bertanam padi hasilnya selalu memuaskan. Pendeknya sejak pasangan ini memelihara Pinang Gading kehidupan mereka berubah makmur, hingga bertambah sayanglah keduanya kepada Pidang Gading. KONON, tak jauh dari Keleka’ Nanga’ terdapat Keleka’

Remban. Keleka’ ini setiap tahun selalu ditimpa musibah yang ditimbulkan makluk menyerupai seekor burung raksasa. Burung raksasa yang kabarnya hidup di Pegunungan Bita, di sebelah Timur Danau Ranau, itu selalu memangsa penduduk Keleka’ Remban setiap habis panen. Hingga dari tahun ke tahun penduduk keleka’ itu menyusut. Baik akibat dimangsa burung raksana itu maupun karena banyak yang pindah dari keleka’ tersebut. Umumnya, selain pindah ke keleka’ sebelahnya, untuk menghindarkan burung raksasa tadi, sebagian penduduk memilih tinggal di gua-gua di celah-celah gunung di daerah itu. Sementara bagi penduduk yang masih memilih tinggal sebagian besar menggunakan remban, yaitu kayu-kayuan yang disusun dan dijalin dengan rotan sega’ atau berebat. Mereka menamakan burung yang sering menyerang itu Burung Gerude, yang konon kabarnya berkepala tujuh.

Akan halnya musibah yang menimpa penduduk Keleka’ Remban itu tersiar ke keleka’ tetangga dan membuat mereka prihatin dan was-was, jangan-jangan suatu hari nanti mereka yang akan dapat giliran diserang. Ketika musibah itu terjadi usia Pinang Gading sudah menginjak 21 tahun dan kemahiran memanahnya semakin hebat. Ia pun sudah mendengar akan keganasan burung raksasa tersebut. Karena tak tahan diteror, seluruh tetua keleka’ bermusyawarah untuk membinasakan burung tersebut dengan jalan memanahnya. Satu-satunya pemanah yang paling mahir saat itu siapa lagi kalau bukan Pinang Gading. Sebagai anak yang berperangai baik Pinang Gading tentu saja tersentuh hatinya dan tergugah serta bersedia menjalankan tugas sebagai pemanah Burung Gerude tersebut. Untuk menunaikan tugasnya, Pinang Gading pun segera membuat anak panah khusus untuk mematikan burung raksasa tersebut. Ia pun merendam anak panahnya dengan berbagai jenis racun. Setelah persiapan usai dilakukan, pada suatu hari burung yang ditakuti itu datang ke Keleka’ Remban untuk mengganggu penduduk. Melihat kedatangan burung pembinasa tersebut, Pinaang Gading yang sebelumnya telah diungsikan di stu tempat strategis, mulai mempersiapkan busur panahnya dengan anak panah beracun siap ditembakkan. Akhirnya, ketika si burung raksasa itu mematuk orang tua yang memang sengaja diumpankan, saat itu juga Pinang Gading melepaskan tali busur panahnya.

Seketika anak panah beracun meluncur deras menuju sasarannya, tepat di leher si burung buas itu. Karena anak panah yang digunakan Pinang Gading telah direndam anake macam racun, tak ayal burung itu pun langsung mati. Burung itu jatuh bergemuruh di atas tanah, menggelepar sesaat dan sekejap kemudian mati. Dari masing-masing dari tujuh kepala burung itu kemudian keluar air tujuh warna. Lalu akan halnya anak panah Pinang Gading, saking deras dan kuatnya ia menarik busur, setelah menembus leher burung raksasa terus melesat ke atas dan jatuh kembali menancap di tanah. Menurut cerita yang berkembang turun temurun, anak panah yang menancap di tanah tadi tumbuh subur menjadi sebatang pohon bambu. Namun, setiap ada penduduk yang menebang pohon bambu itu akan menemui ajalnya, sehingga lama-kelamaan tak ada lagi penduduk yang berani menebangnya. Rupa-rupanya racun yang digunakan Pinang Gading begitu kuatnya, hingga terus melekat pada anak panahnya. Bahkan hingga anak panahnya tumbuh kembali menjadi pohon bambu yang subur. Karena itulah kemudian penduduk setempat menyebut pohon bambu itu sebagai buluh hantu. (Buluh adalah bahasa lokal untuk bambured.) Lama kelamaan penyebutannya berubah menjadi BELANTU, hingga kemudian daerah tersebut juga dinamai daerah Belantu. Akan halnya Pinang Gading, setelah berhasil memusnahkan burung raksasa tersebut, namanya kian termashur di seluruh keleka’ di daearah Belantu. Namun, sebagai manusia biasa, setelah usianya tua, meninggal di tempatnya ‘lahir’ di Keleka’ Nanga’. Makamnya yang kini terdapat di kampung kecil di kaki Gunung Beluru, Membalong, itu hingga kini dikeramatkan penduduk setempat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Cerita Rakyat dari Bangka Belitung : Raja Berekor

 

Raja Berekor 

Cerita ini merupakan kegiatan dari asal usul Pulau Belitung.Dimana terdapat sebuah pulau hanyut yang di akibatkan kemurkaan seorang raja di Bali akibat anaknya mengandung anak akibat hubungan nya dengan anjing kesayangan nya.

Hatta setelah tiba waktunya,sang putri yang mengandung akibat hubungan dengan anjing kesayangan nya,melahirkan seorang bayi laki-laki.Berbeda dengan bayi normal,sekujur tubuh bayi tersebut penuh di tumbuhi bulu-bulu subur serta memiliki sebuah ekor kecil,layaknya anjing.

Ringkas cerita,karena persediaan makanan kiriman dari istana sebelum di kutuk ayahnya telah menipis,sang putrid pun mulai menggantungkan hidup dari alam.Untuk membesarkan anaknya,di temani anjing kesayangan nya ia berburu biantang apa saja yang ada di hutan,menangkap ikann di sungai,serta memakan tumbuhan hutan apa saja yang bisa di makan.Oleh ibunya,setelah beranjak besar,si anak berekor di ajarkan cara berburu dan menangkap ikan di sungai.

Satu hari,si anak berekor berburu sendiri ke hutan.Dalam hutan ia bertemu sepasang burung ( di sebutkan sebagai burung kutilang,red) yang sedang memberi makan anaknya.Sedianya ia akan memanah burung-buruba tersebut.Namun mengingat burung tersebut sedang memberi makan ankanya,anak berekor pun mengurungkan niatnya.Dalam hatinya malah tibul rasa kasihan melihat keharmonisan keluarga burung tersebut.

Sepanjang hari itu,ia merasa sangat terkesan dengan keluarga burung tersebut.Sepanjang perjalanan ia terus terbayang kemesraan burung tersebut.Hingga tak seokor burung pun berhasil ia panah hari itu.

Setiba di rumah,ia pun segera menghampiri ibunya dan bertanya, “ Mak ,dimane aya aku ne ? “

Di Tanya demikian,si Ibu kaget.Lalu menjawab “ Aya kau ndak ade “

Tak puas dengan jawaban ibunya,si anak pun lantas berujar,” Ndak mungkin anak manusie ndak ade aya.Sedangkan binatang sajak macam burong kutilang nok aku liat de bang utan tadik ade umak bapak e.”

Walau di desak,sang putrid tetap tak menjawab.Hingga kemudian anak nya berkata keras kepada ibunya.” Sebutla benar-benar demane aya aku ? kaluk,ikam ndak,ikam aku buno.” sergahnya dengan bengis.

Mendengar ancaman tersebut,karuan si ibu ketakutan.Sebab anaknya kini telah menjadi laki-laki dewasa bertubuh tinggi besar,berotot,pemberani,tangkas dan sangat kuat.Akhirnya,setelah berkali-kali di ancam,sang ibu pun berkata,” Aya kau to si Tumang,asuk kesayangen kite.”

Mendengar jawaban tersebut,bukan main marah nya si anak berekor.Sekejap kemudian ia telah berhasil mengkap Tumang yang berdiri tak jauh dari ibunya.Dalam hitungan detik terdengar lengkingan pendek tapi nyaring si Tumang.Sekejap kemudian,Nampak anjing itu telah terkapar di atas tanah.Kepalanya hancur,akibat bantingan keras si anak.Tumang,anjing kesayangan sang putrid,yang adalah ayah biologis si anak berekor,mati mengenaskan akabat di banting anak ny sendiri.Bangkai nya lalu di hanyutkan di sungai.

Begitulah,waktu pun terus berjalan.Si anak berekor telah tumbuh menjadi seorang pemuda normal yang gagah perkasa,namun ekornya makin panjang.Satu hari,kepada ibunya,pemuda berekor itu minta izin untuk menjelajahi daerah lain.Oleh ibunya ia di sarankan membuat perahu.

Singat cerita.setelah perahu dan berbagai perlengkapan serta perbekalan selesai di siapkan,pemuda bereokor pun berangkat.berlayar mengarungi samudra tanpa tahu arah tujuan pasti,hingga akhirnya mencapai daratan pulau Sumatra,yang masuk wilayah kekuasaan Raja Palembang.

Mengetahui daerah tempatnya mendarat termasuk wilayah kekuasaan Raja Palembang,pemuda berekor itu pun datang menghadap ke istana.Kepada Raja Palembang ia mengajukan diri untuk menjadi raja.Raja Palembang setuju dengan usulan tersebut.Namun syaratnya,ia harus memerintah di daerah asalnya,dan daerah tersebut menjadi taklukan Raja Palembang.

Syarat Raja Palembang itu di terima pemuda berekor,hinga jadilah ia sebagai seorang Raja di daerah asalnya yang kemudian terkenal dengan Raja Berekor.Namun,sebelum kembali ke daerah asalnya,ia di bekali perlengkapan secukupnya dan rakyat berasal dari daerah taklukan Raja Palembang Konon jumlahnya setara dengan delapan gantang butir padi.

Di kisahkan setiba di Belitung,Raja Berekor mendirikan istana di sekitar Aik Bebulak,Kelekak Usang kea rah perawas,sejajar dengan aliran sungai Cerucuk yang melintasi Kampung Perawas sekarang ini.Singgasananya terbuat dari sebuah tempayan besar.Dii atas tempayan besar itulah di letakan satu keeping papan dari kayu ulin yang di beri lobang,sebagai tempatnya memasukan ekor ketika duduok di sanggasana.Alhasil,kemanapun Raja Berekor ini pergi tempat duduk itu selalu di bawa.

Dalam menjalankan pemerintahan,Raja Berekor di dampingi Sembilan pembantu,terdiri atas : perdana mentri,hulubalang dan pesuruh yang salah satunya bernama sikum.Selain itu di tangkap pula sejumlah perempuan untuk di jadikan juru masak dan dayang-dayang istana.Dengan dukungan sejumlah pembantunya,pemerintahan Raja Berekor berjalan baik dan sesuai dengan kehendak raja.Pendek kata,setiap kehendak raja selalu di turuti para pembantu nya,yang sebenarnya takut dengan kekekaran dan kebengisan nya.

Satu hari seorang juru masak istana membuat kelalaian .Saat menyiapkan makanan siang buat sang raja ,salah satu jarinya tersayat pisau, hingga darahnya menetes dalam makanan yang sedang disiapkan .Ketika makanan tersebut dihidangkan kepada sang raja bukan mainnya takut juru masak .

Tapi ,apa yang terjadi kemudian ?Setelah dihidangkan sang raja memakannya dengan lahap .Sekonyong-konyong ,Raja berekor tertawa terbahak-bahak ,sambil berteriak keras kepada Perdana Mentrinya .

“Perdana Mentri panggil juru masak !”Perdana Mentri pun langsung memanggil juru masak dan kembali menghadap sang raja bersama juru masak tak lama kemudian .

“Ampun Baginda hamba datang ngadap ,”ujar Perdana mentri di ikuti juru masak .

‘Juru masak !Nyaman benar kau masak sari ne ‘,rasenye lebe nyaman dari masakan nok lauda-uda .Bahan ape nok kau masokkan de dalamnye ?tanyak raja berekor .

Ditanya demikian ,juru masak gemetaran .mukanya pucat pasi .Keringat dingin mengucur deras didahinya .

Ampun, tuan ku ,hamba masak macam biase sajak,ndak ade nok demasokan bang masakan itu .semuenye bumbu masakan kan bahan nok ade dedapor kitelah.,”jawab juru masak itu gemetaran .,”Akh ,ndak mungkin !” sergah sang raja .”cuba terus terang ,pasti ade nik lebeh dari biase e,” sergah sang raja lagi.

Takut dengan raja,juru masak itu pun dengan pasrah dan terbata-bata berujar,”seingat hamba,waktu mengiris sayor,ujung tangan hamba teriris pisuk lalu bannyak keluar dara.Dara itu tecampor kan bumbu tadik” jawab juru masak sambil gemetaran.

Mendengar jawaban si juru masak,sang raja tersenyum sambil mengangguk-angguk kecil.Dalam hatinya terbayang mungkin darah manusia di campur daging manusia lebih enak rasanya.Hingga akhirnya muncul keinginan untuk memakan daging manusia.Sesaat kemudian ia pun berkata kepada perdana mentri

Perdana Mentri,ngape kite ndak nyubak makan daging manusie sajak ?” Tanya raja lagi.

“ Hamba,…ndak sampai ati tuanku,” jawab Perdana Mentri ketakutan.

Di jawab demikian,meledaklah kemarahan sang raja.Sambil menghunus pedang ia berteriak, “ turutek perinta aku ! kaluk ndak kau nok aku buno 

Akhirnya dengan sangat terpaksa Perdana Mentri menuruti kehendak raja itu.Membunuh manusia untuk di jadikan santapan raja.Korban pertamanya adalah juru masak.Rupanya dugaan raja bengis itu benar.Ketika menyantap daging sang juru masak ia Nampak merasakan kenikmatan tiada tara.

Sejak saat itu,setiap hari,pasti ada rakyatnya yang di korbankan untuk di jadikan santapan raja pemakan manusia itu.Semua jenis dan tingkatan umur di coba.Anak-anak,orang dewasa,orang tua,laki-laki,maupun perempuan.Malahan terkadang dalam sehari lebih dari satu orang yang menjadi korban.

Akibatnya,rakyat semakin takut.Kerajaan pun semakin sepi.Semua rakyat berdiam diri di rumah,menghindar agar tidak menjadi santapan raja.Akhirnya,rakyat yang semula begitu banyak hari demi hari menjadi kian sedikit.Sementara para pembantu istana tak berdaya mengatasi tabiat buruk raja yang buas dan kejam itu.

Satu saat,tanpa di ketahui para hulu baling istana rakyat melarikan diri ke daerah Belantu,Sijuk,Buding dan daerah lainya.Sedang yang belum melarikan diri dan jumlahnya sangat sedikit,kemudian mendapat giliran menjadi santtapan raja.Hingga akhirnya yang tertinggal hanya Sembilan orang pembantu raja saja.Mengetahui rakyat nya sudah tak ada lagi di kerajaan,Raja Berekor pun menjadi gelisah dan menanyakannya kepada Sembilan pembantu nya.Oleh mereka di jawab bahwa,rakyat telahh habis dijadikan santapan raja.

Karena haus dengan daran dan daging manusia,raja pun bermaksud memakan ke Sembilan pembantunya yang masih tersisa di istana.Namun bagaimana caranya ? Segera la raja bengis ini memanggil ke Sembilan pembantunya dan mengadakan seyembara yang terdiri dari dua buah teka teki berbunyi : “ DELIPAT KEMBANG DELIKOR,DELIMA KEMBANG DELIKAM “

 Barang siape ndak dapat ngenjawabnye,kan aku buno.Untuk itu mikak kuberik waktu duak ari untuk ngenjawabnye,” ungkap raja.

Mendapat seyembara tersebut ke Sembilan pembantu raja itu segera bermusyawarah.Salah satunya adalah pak Sikum.Orang tua ini sudah lama mengabdi pada kerajaan.Hingga ia tahu persis keadaan kerajaan.Setelah bermusyawarah,ke Sembilan orang ini pun akhirnya berhasil memecahkan teka teki tersebut.” DELIPAT KEMBANG DELIKOR “ berarti berarti empat orang dimakan waktu lohor ( siang ) dan DELIMA KEMBANG DELIKAM berarti lima orang di makan waktu malam.

Setelah berhasil memecahkan teka-teki tersebut tiba-tiba pak Sikum berteriak,” Kite harus ngadilek raje lalim itu “

Tapi,lanjut dia,”kite ndak mungkin ngembunonye secare terang-terangen.Sebab die sakti,die juak kebal kan senjate tajam.”

Menghadapi kenyataan itu,semua yang hadir terdiam.Namun,tiba-tiba Pak Sikum teringat sesuatu.” De istana ne tersimpan duak buah alu sakti terbuat dari kayu simpor laki.Alu sakti itu la nok dapat ngembuno raje,” ujarnya setengah berteriak.

Untuk melaksanakan niatnya,Sembilan pembantu raja itu pun mencuri dua buah alu sakti tersebut.Lalu,mereka menyususn rencana pembunuhan terhadap raja bengis itu.Disepakati waktunya saat mereka menghadap raja ketika batas waktu yang di berikan habis.

Batas waktu yang di terapkan raja pun tiba.Ke Sembilan pembantu raja datang menghadap.Namun,dari singgasananya,raja merasa kejanggalan pada para pembantunya.Dua di antara mereka tidak membawa tombak seperti biasa,api membawa alu.Hingga Raja Berekor menjadi agak sedikit curiga.

Masih curiga,raja pun menanyakan apakah mereka sudah berhasil menjawab teka-teki yang di ajukan nya dua hari lalu.

Pertanyaan raja itu,secara berpantun di jawab Perdana Mentri,dengan membalikan teka-teki yang di ajukan :

DELIPAT KEMBANG DELIKOR
DELIPAT KEMBANG DELIKAM
URANG LIMAK NGIBIT IKOR
URANG EMPAT SERETE NIKAM

Belum sempat,raja bereaksi pak Sikum,langsung membalas pantun Perdana Mentri :

SAK DUA DAUN SIMPOR
KETIGE DAUN GENALU
URANG LIMAK NGIBIT IKOR
URANG DUA NGEMPOK KEN ALU

Mendengar jawaban tersebut,sadarlah Raja Berekir bahwa pantun itu adalah siasat Sembilan para pembantunya untuk membunuhnya.Seketika murkalah Raja Berekor.Ia bangkit dari singgasananya,hingga tanpa di sadari ekornya turut keluar dari lobang tempayan.

Begitu melihat ekor sang raja keluar,serentak para pembantu raja itu menyerang.Lima orang memegangi ekor,empat lainya masing-masing dua orang memukul kepala raja bengis dan kejam itu dengan alu sakti dan menusuknya dengan keris.Akibatnya seketika tubuh raja yang besar dan kekar itu pun tumbang bersimbah darah.Mayatnya,oleh Sembilan pembantunya,di hanyutkan ke sungai.Dengan begitu tamatlah riwayat Raja Berekor,pemangsa manusia yang begitu bengis dan kejam itu.

 

Cerita Rakyat dari Bangka Belitung : Asal Usul Pulau Kapal

 

Cerita Dongeng Bangka Belitung : Asal Usul Pulau Kapal

Dahulu kala, tinggalah sebuah keluarga yang sangat miskin di dekat Sungai Cecuruk yang terletak di Kepulauan Bangka Belitung.

Keluarga ini memiliki seorang anak yang sangat rajin. Mereka sekeluarga hidup dari hasil menjual buah-buahan dan daun-daunan yang mereka petik dari hutan ke pasar. Setiap hari, sang anak ikut ayah dan ibunya mencari hasil hutan.

Suatu hari, sang ayah pergi ke hutan untuk mencari bahan makanan. Ketika sedang menebang rebung, ia menemukan sebuah tongkat di antara rumpunan bambu. Ternyata, tongkat itu berhiaskan intan permata dan batu merah delima. Sang ayah bertanya-tanya dalam hati, siapa pemilik tongkat itu. Sang ayah segera membawa pulang tongkat itu dan menunjukkan kepada istri dan anaknya.

“Sebaiknya kita simpan saja benda ini, siapa tahu nanti ada yang mencarinya," ujar sang ayah.

“Namun, kita tidak mempunyai lemari untuk menyimpan benda ini, Pak. Aku khawatir nanti malah dicuri orang,"" jawab sang ibu.

"Kita jual saja tongkat itu, sehingga kita tidak perlu repot menyimpannya," usul si anak. Akhirnya, ayah dan ibunya setuju dengan usulan anaknya itu.

"Pergilah kau ke negeri seberang, Nak. Jual tongkat ini lalu kembalilah pulang," kata sang ayah.

Anak itu pun berangkat ke negeri seberang. Tongkat berharga itu berhasil dijualnya dengan harga tinggi. Namun, sang anak tidak segera pulang ke kampungnya, ia memilih menetap di negeri itu dengan uang hasil penjualan tongkat berharga.

Kehidupan sang anak berubah sangat drastis. la menjadi kaya raya serta bergaul dengan kalangan dan saudagar-saudagar kaya. Bertahun-tahun ia tidak kembali ke kampungnya. Kemudian, sang anak menikah dengan putri salah satu saudagar terkaya di negeri itu.

Suatu kali, mertua anak itu memerintahkannya untuk pergi berdagang ke negeri lain bersama istrinya. Lalu, ia mempersiapkan perjalanan dengan membeli sebuah kapal yang besar dan mempersipkan anak buah kapal yang tangguh. la membawa banyak sekali hewan untuk bekal makanan selama berlayar, sehingga suasana kapalnya pun sangat ramai oleh suara binatang. Mereka pun berangkat berlayar.

Ketika sampai di sekitar Sungai Cecuruk, sang anak teringat akan kampung halamannya, kapal pun sandar di sungai tersebut.

Berita kedatangan sang anak pun didengar oleh orangtuanya. Ibunya segera menyiapkan makanan kesukaan anak itu dan pergi menemuinya dengan rindu yang terpendam selama bertahun tahun.

"Ini ibu dan ayahmu datang, Nak!" seru ibunya ketika sampai di kapal mewah sang anak.

Lelaki muda itu tertegun melihat siapa yang datang. la tidak mau mengakui ayah dan ibunya yang renta clan miskin.

"Siapa kalian? Cepatlah pergi dari kapalku!" teriak sang anak.

"Nak, ini ayah dan ibumu. Apakah kau tidak mengenali kamu? Ini ibu buatkan masakan kesukaanmu, Nak!" jawab sang ibu dengan sedih.

"Pergi! Aku tidak suka makanan kampung! Orangtuaku adalah seorang saudagar kaya, bukan gembel seperti kalian!" seru sang anak sambil membuang makanan pemberian ibunya.

Hancurlah hati kedua orangtua sang anak. Dengan berucuran air mata, mereka meninggalkan kapal sang anak. Ibunya tak kuasa menahan sedih dan sekaligus amarahnya.

la pun berucap, "Jika saudagar kaya raya itu benar anakku, semoga karamlah kapal itu bersamanya."

SeIah kata-kata itu terucap, tiba-tiba muncul badai dan gelombang laut sangat besar,dan tinggi menelan kapal mewah sang anak beserta istri dan awak kapal.

Kapal besar itu terombang-ambing dan terbalik, seluruh penumpang tewas seketika, termasuk sang anak. Beberapa hari setelah kejadian tersebut, di tempat karamnya kapal sang anak, muncul sebuah pulau yang bentuknya menyerupai sebuah kapal. Menurut cerita, pada waktu-waktu tertentu di sekitar pulau itu sering terdengar suara-suara binatang yang diyakini sebagai binatang-binatang yang dibawa sang anak di kapalnya. Pulau itu kemudian diberi nama Pulau Kapal.

Pesan moral dari Cerita Dongeng Bangka Belitung : ASal Usul Pulau Kapal adalah jangan pernah durhaka kepada orang tua. Kebahagiaan mu tergantung pada baktimu kepada orang tua.

 

 

Cerita Rakyat dari Bangka Belitung : Jembatan Emas untuk Putri

 

Cerita Rakyat Bangka Belitung : Jembatan Emas untuk Putri

Bujang Katak, begitulah ia biasa dipanggil, karena ia memang menyerupai katak. Kulitnya licin dan berwarna kehijauan, Iehernya pun pendek seperti katak. Bujang Katak adalah anak tunggal wanita tua yang miskin. Dulu, wanita itu rajin berdoa agar Tuhan mengaruniakan seorang anak padanya. Tanpa sengaja, ia berkata bahwa meskipun anak yang diberikan menyerupai katak, ia akan tetap mencintainya. Rupanya Tuhan mengabulkan doanya, dan lahirlah si Bujang Katak.

Bujang Katak rajin membantu ibunya di ladang. Para penduduk desa pun menyukai Bujang Katak karena sikapnya yang ramah dan suka membantu. Akhir-akhir ini, Bujang Katak tampak murung. Ia sering duduk melamun. Ibunya yang heran melihat perubahan sikapnya pun bertanya, "Apa yang kau pikirkan, Nak? Seharian kau hanya duduk melamun."

Bujang Katak menghela napas, "Aku sekarang sudah dewasa Bu, sudah saatnya aku menikah."

Ibunya tersenyum, "Ah, rupanya kau sedang jatuh cinta. Katakan pada Ibu siapa wanita itu dan Ibu akan segera melamarnya."

"Putri Raja, Bu. Aku dengar Raja memiliki tujuh putri yang cantik-cantik. Maukah Ibu melamar salah satu dari mereka untukku?"

Ibunya sangat terkejut, "Mana mungkin seorang putri raja sudi menikah dengan anakku," pikirnya dalam hati. Namun karena sangat menyayangi anaknya, ibu itu pun mengiyakan.

Esok harinya, si Ibu berangkat ke istana. Tak lupa ia membawa sedikit buah tangan untuk Raja. Sesampainya di istana, Raja segera menanyakan maksud kedatangannya.

"Ampun Baginda. Maafkan hamba jika lancang. Maksud kedatangan hamba adalah untuk melamar salah satu putri Baginda untuk putra hamba," kata Ibu dengan sedikit cemas.

Raja mengernyit. Dipandangnya ibu itu dari atas sampai ke bawah.

"Wanita miskin ini rupanya salah tujuan. Mana mau putri-putriku bersuamikan orang miskin?" pikirnya dalam hati. Meski berpikir demikian, karena sang Raja merupakan Raja yang bijaksana, Raja tak mau mengecilkan hati ibu Bujang Katak. Beliau lalu memanggil ketujuh putrinya untuk menemui ibu tersebut.

"Putri-putriku, apakah ada dari kalian yang bersedia menikah dengan putra wanita tua ini?" tanya Raja. Serempak putri-putri itu tertawa mengejek. "Hai wanita tua, anakmu mimpi di siang bolong, ya?"

Mereka lalu masuk kembali ke istana dan tak menghiraukan ibu Bujang Katak. Hanya putri bungsu raja yang tetap tinggal. Ia menghampiri ibu Bujang Katak dan berkata, "Pulanglah. Katakan pada putramu untuk datang sendiri melamarku."

"Bungsu, apakah kau benar-benar ingin menikah dengan Bujang Katak? Ia hanya pemuda miskin dan rupanya seperti katak," kata Raja panik. Lebih dari itu Putri bungsu merupakan putri yang paling cantik dan putri yang paling baik hati diantara ketujuh putrinya. Sang Rajapun sebenarnya paling sayang dengan Putri Bungsu karena selain cerdas, putri bungsu juga anak yang bijaksana.

"Jika Ayahanda mengizinkan, aku bersedia menikah dengan Bujang Katak. Aku mendengar bahwa Bujang Katak adalah pria yang baik. Bukankah aku harus mencari suami yang baik?" jawab Putri Bungsu. Raja tak bisa menjawab. Ibu Bujang Katak pun segera pulang untuk memberitahu kabar gembira ini pada Bujang Katak.

Keesokan harinya, Bujang Katak pergi ke istana. "Hai Bujang Katak, kau boleh memperistri putri bungsuku, tapi ada syaratnya," kata Raja saat Bujang Katak menghadap. Sang Raja sengaja akan memberi suatu syarat yang sangat sulit sehingga tidak mungkin dapat terwujud. Hal ini sebenarnya untuk menolak lamaran Bujang Katak secara halus.

"Apa pun syaratnya, hamba akan berusaha memenuhinya," jawab Bujang Katak mantap.

"Aku ingin kau membangun jembatan emas di atas sungai yang menghubungkan istana ini dengan desamu. Suatu saat jika aku ingin mengunjungi putriku di desamu, aku tak perlu menyeberang sungai dengan perahu. Cukup dengan melewati jembatan emas itu. Apakah kau mampu memenuhinya?" tanya Raja.

"Siap Baginda. Hamba akan segera membangun jembatan itu,” kata Bujang Katak dengan nada yakin dan mantap.

"Ingat Bujang Katak! Jembatan itu harus siap dalam waktu satu minggu, Kalau tidak, jangan harap kau bisa menikahi putriku!" kata Raja menambahkan syarat yand diajukan pada Bujang Katak.

Bujang Katak kembali ke rumahnya. Ia menceritakan permintaan Raja kepada ibunga. "Tapi anakku... kita ini hanya orang miskin. Mana mampu kita membeli emas untuk membangun jembatan itu?" Ucap Ibu Bujang Katak memelas.

"Bu, dengan pertolongan Tuhan, apa pun bisa kita lakukan. Aku akan memohon pada Tuhan untuk memberi jalan kepadaku," sahut Bujang Katak mantap. Malam itu, Bujang Katak terus berdoa dan berdoa. Ia yakin Tuhan akan menolongnya.

Pagi-pagi, seperti biasa Bujang Katak bangun dan bersiap pergi ke ladang. Ketika ia mandi, keajaiban pun terjadi. Kulitnya yang tebal dan licin terkelupas. Tiap kali ia mengguyurkan air ke tubuhnya, kulitnya rontok. Perlahan-lahan, seluruh kulit tubuhnya terkelupas. Bujang Katak heran. Ia menatap onggokan kulitnya yang terkelupas. Ia segera masuk rumah untuk bercermin. Alangkah kagetnya ia, di hadapannya tampak sosok pemuda tampan dengan kulit kecokelatan! Bukan lagi pemuda yang menyerupai katak. Tak percaya, Bujang Katak terus meraba wajahnya. "Ibu... Ibu... cepat kemari... lihatlah diriku, Bu!" teriak Bujang Katak. Ibunya tergopoh-gopoh menghampiringa. "Ya Tuhan, sungguh besar cintaMu pada anakku ini," seru Ibu sambil memeluk Bujang Katak.

Bujang Katak kembali ke sumur untuk meneruskan mandinya. Sekali lagi, keajaiban terjadi. Onggokan kulit yang tebal itu telah berubah menjadi emas! Bujang Katak berteriak-teriak kegirangan, "Terima kasih Tuhan, terima kasih... Kau sudah memberikan jalan keluar untukku."

Bujang Katak menunjukkan emas itu pada ibunya. "Bu, sekarang aku sudah bisa membangun jembatan emas. Doakan aku, agar bisa menyeIesaikannya tepat waktu. Bujang Katak mulai bekerja, siang dan malam tiada henti.

Hari yang ditentukan telah tiba. Bujang Katak dan ibunya menghadap Raja. Saat itu, Raja dan para putrinya sedang berkumpul. Mereka semua heran melihat sosok pemuda yang datang menghadap Raja.

"Hai wanita tua, mana putramu yang seperti katak itu? Siapa pemuda ini?" tanya Sang Raja kebingungan.

"Ampun Baginda, pemuda ini adalah Bujang Katak. Tuhan telah mengubah wujudnya menjadi pemuda yang tampan," jawab ibu Bujang Katak. Mareka saling berpandangan. Putri Bungsu pun tersenyum bahagia.

"Hei anak muda, meskipun kau sudah menjadi pemuda yang tampan, kau tetap harus memenuhi syaratku. Apakah jembatan emas itu sudah jadi?" tanya Sang Raja.

"Tentu saja Baginda. Mari hamba antar Baginda untuk melihatnya," jawab Bujang Katak.

Pada pagi hari, jembatan emas itu sungguh indah. Warna keemasan memantul dari setiap bagian jembatan. Raja senang melihat tekad dan usaha Bujang Katak untuk menikahi putri bungsunga. "Rupanya pilihan Putri Bungsu memang tepat. Pemuda ini mau bekerja keras demi mencapai cita-citanya," pikir Raja. "Baiklah Bujang Katak. Mari kita kembali ke istana dan membicarakan pesta pernikahanmu dengan Putri Bungsu," ajak Raja. Bujang Katak pun mengangguk setuju. Ia mengulurkan tangannya pada Putri Bungsu. Dengan malu-malu, Putri Bungsu mengambut uluran tangan calon suaminya.

Pesan moral dari Cerita Rakyat Bangka Belitung : Bujang Katak untukmu adalah Jangan menilai orang dari penampilan fisiknya saja. Usaha, kerja keras, dan doa akan menjadikan seseorang sukses.

Cerita Rakyat dari Bangka Belitung : Si Penyumpit dan Babi Hutan

Cerita Rakyat dari Bangka Belitung : Si Penyumpit dan Babi Hutan

Si Penyumpit adalah seorang pemuda yang pandai menyumpit hewan buruan. Selain kemampuannya dalam menyumpit, dia juga pandai meramu obat-obatan. Penduduk desa sangat menyukai si Penyumpit. Hanya satu orang yang tidak suka padanya, yaitu Pak Raje, Kepala Desa yang kikir. Almarhum ayah si Penyumpit pernah berutang pada Pak Raje dan ia selalu menuntut si Penyumpit untuk melunasi utang ayahnya.

Suatu hari, Pak Raje menemui Si Penyumpit. "Hai Penyumpit, untuk melunasi utang ayahmu, kau harus menjaga sawahku dari serbuan babi hutan. Sumpitlah mereka supaya tidak kembali lagi. Tapi ingat, jika kau lengah dan babi hutan itu merusak padiku lagi, kau harus membayar ganti rugi padaku," kata Pak Raje. Tak bisa menolak, Penyumpitpun menyetujuinya.

Malam itu, ia memulai tugasnya dengan waspada."Aha, itu mereka," bisiknya dalam hati, matanya memandang tajam ke arah sawah milik Pak Raje. Segerombolan babi hutan menuju ke sawah Pak Raje. Si Penyumpit mengeluarkan alat sumpitnya, dan huuppp... melayanglah anak sumpitnya ke gerombolan babi hutan itu. "Ngoiikkk..." seekor babi hutan terkena sumpitannya. "Ngoikkk...ngoik... ngoik..." babi hutan itu berteriak-teriak seolah memberi peringatan pada teman-temannya. Mereka semua Iari menyelamatkan diri.

Si Penyumpit keluar dari persembunyiannya. Ia hendak melihat babi hutan yang disumpitnya, tapi babi hutan itu sudah pergi. "Aneh, seharusnya ia mati terkena sumpitanku." Penasaran, si Penyumpit mengikuti jejak darah yang tercecer di tanah. Jejak itu berhenti di sebuah rumah kecil di hutan. Dari jendela, terlihat beberapa wanita cantik. "Di mana babi hutan itu?" bisiknya. Salah satu dari wanita cantik itu terluka perutnya. Si Penyumpit pun mempertajam penglihatannya. "Hei, bukankah itu mata sumpitku?" Ia heran, tadi ia menyumpit babi hutan, tapi mengapa wanita itu terluka? Tak mau berlama-lama, si Penyumpit mengetuk pintu.

"Siapa kau mengapa datang tengah malam begini?" tanya wanita yang membuka pintu.

"Namaku si Penyumpit. Tadi aku menyumpit seekor babi hutan. Tapi aneh, babi hutan itu hilang. Setelah aku ikuti jejak darahnya, ternyata berhenti di rumah ini."

"Oh, jadi kau yang menyumpit adik kami? Lihat, sekarang ia kesakitan. Kami tak tahu bagaimana caranya melepas mata sumpit itu," kata wanita itu marah. Si Penyumpit bingung. "Apakah kalian ini gerombolan babi hutan tadi?" tanyanya.

"Ya, kami memang siluman babi hutan. Kami menjadi babi hutan untuk mencari makan di malam hari," jawab wanita itu.

Sekarang barulah si Penyumpit mengerti. "Oh, maafkan aku. Aku tak sengaja melukai adikmu. Tapi jangan khawatir, aku akan melepaskan anak sumpit itu dan mengobati lukanya," katanya. Wanita itu setuju.

Si Penyumpit meminta beberapa helai daun keremunting yang ditumbuk. Ia akan membalutkannya ke luka tersebut. Berhasil... anak sumpit itu berhasil ditarik. Luka di perut itu kemudian dibalut dengan tumbukan daun keremunting. Darah pun berhenti bercucuran.

Wanita itu lega. Ia berterima kasih pada si Penyumpit. "Meskipun kau telah menyumpit adikku, aku tetap berterima kasih padamu. Sebagai hadiah, terimalah ini," kata wanita itu sambil mengeluarkan empat bungkusan kecil.

Si Penyumpit menolak, "Sudah seharusnya aku mengobati adikmu. Tak perlu memberiku hadiah."

"Terimalah. Bungkusan ini berisi kunyit, buah nyatoh, daun simpur, dan buah jering. Anggaplah ini sebagai tanda persahabatan dari kami," kata wanita itu memaksa. Akhirnya, si Penyumpit mengalah. Ia menerima keempat bungkusan itu.

Hari sudah menjelang pagi ketika si Penyumpit sampai di rumah. Dengan hati-hati, ia membuka bungkusan tadi. Terngata isinya perhiasan emas, intan, dan berlian! Si Penyumpit gembira sekali, "Terima kasih babi hutan. Dengan begini aku mampu melunasi utang ayahku pada Pak Raje.” Gumamnya dalam hati.

Si Penyumpit menjual semua perhiasan itu dan menemui Pak Raje. "Darimana kau dapat uang sebanyak ini? Jangan-jangan kau merampok?" tanya Pak Raje curiga.

Si Penyumpit lalu menceritakan pengalamannya pada Pak Raje. "Jadi, sekarang utang ayahku sudah lunas, ya Pak," kata si Penyumpit. Pak Raje hanya mengangguk. Dalam hati, ia punya rencana. Ia akan meniru pengalaman si Penyumpit. "He... he... siapa tahu babi hutan itu juga memberiku perhiasan," tawanya dalam hati.

Malam harinya, Pak Raje sudah siap dengan alat sumpitnya. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya babi-babi hutan itu datang. Persis seperti pengalaman si Penyumpit sebelumnya, ia menyumpit babi-babi hutan itu. Pak Raje juga mengikuti jejak ceceran darah babi hutan yang terluka. Ia pura-pura hendak menolong wanita siluman babi hutan itu.

Pak Raje tak tahu, seharusnya ia mempersiapkan ramuan obat untuk mencegah darah bercucuran dari luka. Ketika Pak Raje mencabut anak sumpitnya, wanita itu berteriak kesakitan. Darah segar mengucur deras dari lukanya. Darah itu tak mau berhenti, sehingga mereka semua panik. Wanita-wanita itu marah. Mereka berubah menjadi babi hutan dan menyerang Pak Raje.

Pak Raje kembali ke rumahnya dengan tubuh penuh luka. Putrinya sangat terkejut melihat keadaan agahnya. Ia lalu segera menemui si Penyumpit untuk meminta tolong.

“Apa yang terjadi? Mengapa ayahniu terluka parah." tanya si Penyumpit.

"Aku tak tahu. Semalam Ayah bilang la mau menjaga sawah untuk menangkal babi hutan. Mungkin Ayah diserang babi hutan?" jawab putri Pak Raje, Mendengar hal itu, mengertilah si Penyumpit apa yang sebenarnya telah terjadi pada Pak Roje. Sebenarnya ia hendak menertawakan kebodohan Pak Raje, noman dia tidak tega melihat putri Pak Raje yang terus menangis.

Si Penyumpit kemudian meramu obat dan mengoleskannya ke seluruh tubuh Pak Raje. Perlahan, Pak Raje mulai menggerakkan tangannya dan membuka matanya. Melihat si Penyumpit yang sedang mengobati dirinya, dia menjadi malu. "Ayah, syukurlah Ayah sudah sadar," kata putrinya.

Perlahan, Pak Raje bangun dan duduk di pembaringannya.

"Maafkan aku atas sikapku selama ini. Kau memang pemuda yang baik, sedikit pun kau tidak mendendam padaku," katanya. "Untuk membalas budi, aku akan menikahkanmu dengan putriku. Apakah engkau bersedia?" tanya Pak Roje lagi.

Putri Pa k Roje tersipu malu. Si Penyumpit memandanginya. Memang sebenarnya sudah lama Si Penyumpit menyukai putri Pak Raje yang cantik dan baik hati. Tapi ia tak pernah berani mengatakannya. "Tentu aku mau Pak Raje," jawab Si Penyumpit gembira.

"Jika begitu, aya kita sebarkan berita baik ini pada penduduk desa," kata Pak Raje dengan bersemangat.

Pesta pemikahan antara si Penyumpit dan putri Pak Raje dilaksanakan dengan merioh. Semua penduduk desa diundang. Karena sudah berusia lanjut. Pak Raje meminta si Penyumpit untuk menggantikannya sebagai kepala desa. Dan si Penyumpit berhasil memimpin desa itu dengan arif dan bijaksana sehingga masyarakat hidup dalam kedamaian dan kebahagiaan

Pesan moral dari Cerita Rakyat dari Bangka Belitung : Si Penyumpit untukmu adalah kecurangan tak akan berbuah kebaikan. Percaya pada kemampuan diri sendiri dan terus berusaha sekuat tenaga, itulah yang membuahkan kemenangan.